Kamis, 10 September 2020

Be a Dynamite

 Perfection is the enemy of progress” – Winston Churchill

Saya sering menunda dan memikirkan berkali-kali untuk menulis dan mem-posting/mem-publish tulisan yang telah saya buat. Kenapa? Karena saya merasa tulisan ini tak terlalu bagus, kurang “nendang” isi dan bahasanya. Kata-kata yang saya gunakan terlalu sederhana, kurang ilmiah, kurang akademis, kurang intelek, kurang ini – itulah … ujung-ujungnya saya minder, yasud … tulisannya parkir di folder sampai batas waktu yang tak ditentukan hingga terlupakan nasibnya.

Tapi, sering pula saya browsing atau membaca tulisan karya orang lain, saya membandingkan dan menganggap tulisan saya gak kalah bagus kok dengan mereka. Saya-nya saja yang ingin tampak sempurna dan berkualitas dengan standar yang saya buat sendiri, sehingga saya gak kemana-mana, muter-muter dalam pagar-batasan yang saya buat sendiri dengan setinggi-tingginya.

Saya membaca suatu tulisan dari David Perell[1] yang mengulas tentang melatih kemampuan menulis. Tulisan pas untuk kondisi yang saya hadapi. Dalam salah satu sub tulisannya yaitu kuantitas versus kualitas (permasalahan yang saya alami), David memberikan contoh sederhana namun menarik, yaitu seorang guru yang memberikan tugas kepada siswanya untuk membuat keramik.

Guru membagi siswa dalam dua kelompok, yaitu kelompok kuantitas dan kelompok kualitas. Prosedur yang diberikan oleh guru sederhana saja, yaitu : pada hari pengumpulan tugas, karya dari kelompok kuantitas akan ditimbang, dengan kategori lima puluh pon pot diberi nilai "A", empat puluh pon sebuah "B", dan seterusnya. Namun, untuk kelompok kualitas, hanya perlu menghasilkan satu pot untuk mendapatkan “A”.

Hari penilaian tiba dan fakta aneh muncul, ternyata karya dengan kualitas yang terbaik ternyata dihasilkan oleh kelompok kuantitas! Mengapa hal ini bisa terjadi? Tampaknya ketika kelompok kuantitas sibuk mengaduk-aduk tumpukan pekerjaannya, mereka banyak belajar dari kesalahannya. Sementara yang terjadi di kelompok kualitas, mereka sibuk berdiskusi dan berteori tentang kesempurnaan, dan pada akhirnya mereka tidak mengerjakan apapun, selain teori dan tumpukan tanah liat.

Jadi … kesimpulan yang saya ambil dari contoh tersebut :

“Semakin banyak engkau menulis (kuantitas), maka semakin mengerti dimana letak kekurangan dari setiap tulisan, kondisi ini yang akan menjadikan tulisanmu semakin berkualitas (quality)”.

Konsistensi dalam menulis diperlukan untuk mengembangkan kemampuan sehingga menghasilkan tulisan yang berkualitas.

Sore tadi saya tergoda untuk membuka link video music yang berjudul Dynamite, dinyanyikan oleh BTS, sebuah group band dari Korea Selatan(K-Pop). Lagunya sampai sekarang masih melekat untuk didendangkan, iramanya riang, liriknya berbahasa Inggris, dance-nya gak ribet. Intinya, lagunya asik!



Saya yakin sih, tim mereka bekerja keras dalam segala lini, sehingga faktanya video music yang tayang selama 5 jam 30 menit sudah ditonton 40 juta viewers[2]: trial and error, mulai dari lirik, nada, kostum, koreografi, kerjasama dengan tim label rekaman lain, latihan vocal, dan lain-lain. Analogi untuk menghasilkan sebuah karya adalah konsistensi yang suatu saat akan menjadi ledakan dinamit!

“…I'm diamond you know I glow up
Hey, so let's go

Cause ah, ah, I'm in the stars tonight
So watch me bring the fire and set the night alight
Shining through the city with a little funk and soul
So I’m light it up like dynamite, woah …”



[1] David Perell,"The Ultimate Guide to Writing Online", https://www.perell.com/blog/the-ultimate-guide-to-writing-online, (diakses pada 8 Sept 2020, pukul 19.30 WIB)

[2] Karwati Putu Latief, "Fakta Dynamite BTS-Single Pertama Full Berbahasa Inggris, https://www.harapanrakyat.com/2020/08/fakta-dynamite-bts/, (diakses pada 9 Sept 2020, pukul 18.00 WIB)

 

Sabtu, 02 Mei 2020

Covid 19 dan Mewahnya Keberlimpahan Waktu

Tidak ada yang menyangka akan mengalami kondisi “lumpuh” selama hampir 2 bulan ini. Pandemi Covid 19 (Corona Disease 2019) yang membuat sebagian besar negara dan rakyatnya mengurung diri di rumah masing-masing, menjaga jarak, menghentikan kebiasaan bersalaman, membiasakan mencuci tangan dengan sabun, menggunakan masker setiap keluar rumah, mandi setelah bepergian, menjauhi kerumunan, berinteraksi dengan memanfaatkan teknologi, dan lain-lain.

Semua orang merasakan dampak yang ditimbulkan oleh merebaknya Covid 19, mulai dari anak balita hingga orangtua yang sepuh sekalipun, mulai dari masyarakat berekonomi lemah hingga yang crazy rich, masyarakat yang tinggal di perkotaan hingga pedesaan pojok gunung, daerah pantai hingga kota besar metropolitan, semuanya … luar biasa!

Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus pertama Covid 19 pada awal Maret 2019, otomatis sejak saat itu reaksi masyarakat bermacam-macam, di tempat tinggal saya, sudah mulai melakukan penutupan wilayah (semi lockdown) sehari setelah pengumuman presiden tersebut. Total sudah hampir 6 minggu warga masyarakat di rumah saja, tidak ada aktivitas ekonomi seperti biasanya. Orang-orang yang biasanya sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing setiap harinya, yang biasa berdagang, membuka warung-warung usahanya menjadi di rumah saja, yang sudah merencanakan hajatan besar seperti resepsi pernikahan juga harus membatalkan acaranya, nyaris dalam 6 minggu ini mereka seperti orang-orang bingung saja.



Para kaum Ibu-Ibu memanfaatkan waktunya dengan duduk-duduk berkumpul bersama tetangga, hmmm.. padahal kegiatan berkumpul dilarang ya? Ntahlah, mungkin untuk skala kecil dengan orang-orang yang diketahui jejak aktivitasnya, tak masalah untuk saling berkumpul. Bagaimana dengan kaum Bapak? Tak kalah pula dengan kaum Ibu, mereka juga membuat perkumpulan pula, alih-alih bosan di rumah, mereka membuat jadwal ronda berkala untuk memantau keluar-masuknya non warga, membahas langkah-langkah antisipasi jika ada warga yang membandel, dan topik lainnya. Bagaimana dengan anak-anak? Tak kalah bosan juga, tapi mereka punya cara yang lebih alami, bermain sepeda keliling komplek, bosan dengan game di HP atau kuotanya yang terbatas, bermain bola di halaman, kelihatannya untuk anak-anak tidak semenderita orang dewasa.


Memang covid 19 membawa kesusahan, namun kalau dilihat dari sisi positifnya, kondisi ini membawa hal baik, yaitu dalam keberlimpahan waktu!

Namun, tak semua orang dapat menggunakan kemewahan waktu yang tersajikan ini, mungkin karena kurang siap, panik dengan kondisi dan pemberitaan dari berbagai media, atau memang tidak tahu musti ngapain.

Untuk kalangan pekerja professional, kondisi ini kurang signifikan dirasakan, malahan mungkin malah menyebalkan , karena waktu kerja menjadi tidak teratur, tak terbiasa dengan ritme work from home.

Stay at Home dan Ramadhan

Semakin hari jumlah pasien penderita covid 19 bertambah, meskipun yang sembuh juga ada. Mulai Maret 2020, April 2020, dan Mei 2020 yang sudah masuk minggu ke- 2  bulan Ramadhan, penyebaran Covid 19 belum menunjukkan penurunan, status masih waspada.

Kondisi ketersediaan waktu yang berlimpah tadi dan moment Ramadhan, merupakan suatu kebetulan yang indah, jika kita ingin melihat sisi baiknya.

Bulan Ramadhan dimana Allah akan memberikan bonus-bonus special untuk hamba-hambaNya yang menyibukkan diri dengan amal ibadah. Biasanya, urusan duniawi kita lebih diutamakan dari urusan ibadah, sekarang Allah seakan menyuguhkannnya, kita bisa memanfaatkannya dengan semaksimal mungkin sembari memohon kepadaNya agar pandemi ini segera berakhir.

Di sinilah pentingnya belajar mengaji sedari kecil, pentingnya memupuk gemar membaca sejak kecil, gemar melaksanakan ibadah-ibadah sunnah, pentingnya memiliki hobi. Mengapa ? Karena dengan hal-hal tersebut membuat masa-masa lockdown menjadi lebih bermakna.

Prihatin sekali melihat Ibu-Ibu yang masih produktif menghabiskan waktunya berkumpul-kumpul, begitu pula dengan Bapak-Bapaknya. Kuota waktu yang Allah berikan kepada kita semua sama, yaitu 24 jam. Sayang sekali jika kita tidak memanfaatkannya dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, ya tidur memberikan bermanfaat dan bernilai ibadah dalam puasa Ramadhan, tapi bila ada yang nilainya lebih bermanfaat, seperti mengaji – mendalami tafsirnya, bukankah lebih bermakna daripada tidur? Membaca buku-buku agama akan menambah wawasan daripada hanya mendengar cerita yang berdasarkan “katanya”, atau menekuni hobi seperti berkebun, membuat kue, menyulam, dan sejenisnya.

Waktu menjadi bermakna bukan karena lamanya, tapi karena kebaikan-kebaikan yang kita lakukan didalamnya.