"Nasib kitalah memang,
nak. Nasib kita. Seganas-ganas laut, dia lebih pemurah dari hati priyayi."
Sahaya ini orang kecil, orang
kebanyakan, orang lata, orang rendah, kalaupun jatuh—ya sakit memang, tapi tak
seberapa. Bagi orang atasan ingat-ingatlah itu, Mas Nganten, tambah tinggi
tempatnya tambah sakit jatuhnya. Tambah tinggi, tambah mematikan jatuhnya.
Orang rendahan ini, setiap hari boleh jatuh seribu kali, tapi ia selalu berdiri
lagi. Dia ditakdirkan untuk sekian kali berdiri setiap hari (h. 98)
Orang bawahan selalu lapar, karena itu matanya melihat segala-galanya, kupingnya dengar segala-galanya dan hatinya seakan segala-galanya, sedang jantungnya deburkan darah buat segala-galanya”. (h.105)
Orang bawahan selalu lapar, karena itu matanya melihat segala-galanya, kupingnya dengar segala-galanya dan hatinya seakan segala-galanya, sedang jantungnya deburkan darah buat segala-galanya”. (h.105)
Tiga paragraph di atas adalah
penggalan dari buku karya Pramoedya Ananta Toer, pecinta sastra pasti paham
benar judul yang dimaksud, yup… benar , Gadis Pantai! Bercampur aduk emosi saat
membacanya. Tapi kali ini saya tidak akan membahas gadis pantai, tapi kehidupan
nelayan di pantai, meskipun sama campur aduk emosinya L.
Minggu pagi yang cerah sebelum
check out dari Hotel, saya ingin sekali menikmati berjalan di pantai yang
terletak di belakang hotel sambil melihat jika ada view yang cocok untuk photo.
Ternyata, saya mendapatkan lebih dari yang saya harapkan. Saya melihat banyak
orang duduk berbaris sambil menarik tali , mulai dari yang tua, muda, hingga
anak-anak, perempuan dan laki-laki. Saya belum mengerti apa yang mereka
lakukan, tapi setelah diamati ternyata mereka menarik tali jala ikan yang
disebar di laut. Tali jala begitu panjang sehingga memerlukan banyak orang dan
tenaga untuk melakukannya.
Berkelompok menarik tali jala. |
Masing-masing memiliki peran dan kontribusi. |
Menarik juga, karena baru kali
ini saya menyaksikannya secara langsung. Memerlukan sekitar 1 jam untuk menarik
jala hingga ke tepian pantai. Saya menganalogikan dalam proses ini dengan
pekerjaan di kantor, OK … tim nelayan ini sangat memiliki working team yang
baik, satu sama lain mengetahui peranannya dan kontribusi yang dimiliki sangat
berarti, meskipun hanya menarik tali saja. Ada kerjasama, kekompakkan, dan
kesabaran. Saya berdebar-debar menunggu hasil jaring yang ditebar, saya
membayangkan dalam jaring ada ikan-ikan yang besar dan banyak sehingga dapat dijual
dengan harga yang layak dan uangnya dapat berguna bagi kehidupan mereka.
Hasil tangkapan bercampur sampah. |
Dalam doa saya yang menyaksikan di bawah panasnya matahari meskipun masih pagi dan tentu saja mereka juga berharap dan berdoa lebih daripada saya, saat jala semakin dekat pantai, mereka menjadi heboh dan tambah bersemangat, begitu juga saya. Ahhh…namun sayang, belum rezeki, bukan berarti doa tak terjawab, ikan-ikan yang terjaring kecil-kecil dan sedikit, malah kebanyakan sampah plastiknya.. huhu. Tampak kekecewaan pada wajah mereka, namun tak sekecewa saya, mungkin mereka sudah biasa ya, dan saya yang terlalu excited dengan harapan ikan-ikan yang besar dan segar.
Hasil tangkapannya ikan-ikan kecil. |
Saya merasa gak adil saja.
Kerja keras mereka hanya sebegitu saja hasilnya, sudahlah mengeluarkan tenaga,
waktu, berpanas-panas, modal bensin untuk kapal yang membawa dan menyebar jala
ke tengah laut, sungguh tak sebanding, apalagi setelah saya mendengar
penjelasan penjual mutiara yang kadang juga membeli hasil tangkapan mereka,
bahwa harga jual tangkapan mereka sangat murah. Mereka tidak mendapat uang yang
seimbang dengan tenaga yang dikeluarkan, bagi mereka yang penting dapat makan,
membeli beras, ya kebutuhan sehari-hari. Namun, saya juga berpikir lain,
beginilah orang kecil Indonesia, jikapun hasil tangkapan tak layak jual, mereka
tetap bisa membawa pulang dan dikosumsi sendiri, tidak akan ada orang Indonesia
yang kelaparan sepanjang mereka mau berusaha dan bekerja. Tapi, dengan proses
seperti ini repot dan beratnya, apa masih ada yang mau melakukannya? Apalagi
hasilnya sedikit dan harus berbagi dengan anggota tim lainnya, tentu saja ini
adalah nelayan tradisional dari masyarakat kecil, beda dengan nelayan modern
yang memiliki modal besar, peralatan tangkap canggih dan mampu menjangkau jauh
dari tepian pantai ke tengah lautan dengan hasil tangkapan ikan yang besar.
Keranjang tangkapan yang tidak penuh. |
Pikiran saya kemana-mana selama
menyaksikan proses ini, pemerintah ? Ya… seharusnya peranan pemerintah untuk
membantu dan membina mereka, oh ya Menteri Susi sudah berupaya melakukan
perubahan-perubahan dengan kebijakannya menangkap illegal fishing. Namun, menurut penjual mutiara tadi, hal tersebut
tidak berdampak signifikan kepada hasil tangkapan nelayan tradisional. Hal lain
juga berpengaruh , yaitu kondisi laut yang rusak dan tercemar. Ya semua masuk
akal sih.
Baby shark yang terjaring. |