Sabtu, 09 Juni 2018

Kerja Belum Selesai …Broh!


"Nasib kitalah memang, nak. Nasib kita. Seganas-ganas laut, dia lebih pemurah dari hati priyayi."

Sahaya ini orang kecil, orang kebanyakan, orang lata, orang rendah, kalaupun jatuh—ya sakit memang, tapi tak seberapa. Bagi orang atasan ingat-ingatlah itu, Mas Nganten, tambah tinggi tempatnya tambah sakit jatuhnya. Tambah tinggi, tambah mematikan jatuhnya. Orang rendahan ini, setiap hari boleh jatuh seribu kali, tapi ia selalu berdiri lagi. Dia ditakdirkan untuk sekian kali berdiri setiap hari (h. 98)

Orang bawahan selalu lapar, karena itu matanya melihat segala-galanya, kupingnya dengar segala-galanya dan hatinya seakan segala-galanya, sedang jantungnya deburkan darah buat segala-galanya”. (h.105)

Tiga paragraph di atas adalah penggalan dari buku karya Pramoedya Ananta Toer, pecinta sastra pasti paham benar judul yang dimaksud, yup… benar , Gadis Pantai! Bercampur aduk emosi saat membacanya. Tapi kali ini saya tidak akan membahas gadis pantai, tapi kehidupan nelayan di pantai, meskipun sama campur aduk emosinya L.

Minggu pagi yang cerah sebelum check out dari Hotel, saya ingin sekali menikmati berjalan di pantai yang terletak di belakang hotel sambil melihat jika ada view yang cocok untuk photo. Ternyata, saya mendapatkan lebih dari yang saya harapkan. Saya melihat banyak orang duduk berbaris sambil menarik tali , mulai dari yang tua, muda, hingga anak-anak, perempuan dan laki-laki. Saya belum mengerti apa yang mereka lakukan, tapi setelah diamati ternyata mereka menarik tali jala ikan yang disebar di laut. Tali jala begitu panjang sehingga memerlukan banyak orang dan tenaga untuk melakukannya.
Berkelompok menarik tali jala.
Masing-masing memiliki peran dan kontribusi.

Menarik juga, karena baru kali ini saya menyaksikannya secara langsung. Memerlukan sekitar 1 jam untuk menarik jala hingga ke tepian pantai. Saya menganalogikan dalam proses ini dengan pekerjaan di kantor, OK … tim nelayan ini sangat memiliki working team yang baik, satu sama lain mengetahui peranannya dan kontribusi yang dimiliki sangat berarti, meskipun hanya menarik tali saja. Ada kerjasama, kekompakkan, dan kesabaran. Saya berdebar-debar menunggu hasil jaring yang ditebar, saya membayangkan dalam jaring ada ikan-ikan yang besar dan banyak sehingga dapat dijual dengan harga yang layak dan uangnya dapat berguna bagi kehidupan mereka.
Hasil tangkapan bercampur sampah.

Dalam doa saya yang menyaksikan di bawah panasnya matahari meskipun masih pagi dan tentu saja mereka juga berharap dan berdoa lebih daripada saya, saat jala semakin dekat pantai, mereka menjadi heboh dan tambah bersemangat, begitu juga saya. Ahhh…namun sayang, belum rezeki, bukan berarti doa tak terjawab, ikan-ikan yang terjaring kecil-kecil dan sedikit, malah kebanyakan sampah plastiknya.. huhu. Tampak kekecewaan pada wajah mereka, namun tak sekecewa saya, mungkin mereka sudah biasa ya, dan saya yang terlalu excited dengan harapan ikan-ikan yang besar dan segar.

Hasil tangkapannya ikan-ikan kecil.
Saya merasa gak adil saja. Kerja keras mereka hanya sebegitu saja hasilnya, sudahlah mengeluarkan tenaga, waktu, berpanas-panas, modal bensin untuk kapal yang membawa dan menyebar jala ke tengah laut, sungguh tak sebanding, apalagi setelah saya mendengar penjelasan penjual mutiara yang kadang juga membeli hasil tangkapan mereka, bahwa harga jual tangkapan mereka sangat murah. Mereka tidak mendapat uang yang seimbang dengan tenaga yang dikeluarkan, bagi mereka yang penting dapat makan, membeli beras, ya kebutuhan sehari-hari. Namun, saya juga berpikir lain, beginilah orang kecil Indonesia, jikapun hasil tangkapan tak layak jual, mereka tetap bisa membawa pulang dan dikosumsi sendiri, tidak akan ada orang Indonesia yang kelaparan sepanjang mereka mau berusaha dan bekerja. Tapi, dengan proses seperti ini repot dan beratnya, apa masih ada yang mau melakukannya? Apalagi hasilnya sedikit dan harus berbagi dengan anggota tim lainnya, tentu saja ini adalah nelayan tradisional dari masyarakat kecil, beda dengan nelayan modern yang memiliki modal besar, peralatan tangkap canggih dan mampu menjangkau jauh dari tepian pantai ke tengah lautan dengan hasil tangkapan ikan yang besar.
Keranjang tangkapan yang tidak penuh.

Pikiran saya kemana-mana selama menyaksikan proses ini, pemerintah ? Ya… seharusnya peranan pemerintah untuk membantu dan membina mereka, oh ya Menteri Susi sudah berupaya melakukan perubahan-perubahan dengan kebijakannya menangkap illegal fishing. Namun, menurut penjual mutiara tadi, hal tersebut tidak berdampak signifikan kepada hasil tangkapan nelayan tradisional. Hal lain juga berpengaruh , yaitu kondisi laut yang rusak dan tercemar. Ya semua masuk akal sih.



Baby shark yang terjaring.
Baiklah, kesaksian saya selama proses ini, tidak begitu menyenangkan, tapi banyak pelajaran yang saya ambil selama beberapa jam mengikuti kegiatan mereka. Kata kuncinya adalah kerja, kesabaran meskipun kecewa, tapi tak putus semangat untuk mencoba lagi, selalu berharap ada hasil yang baik. Lainnya…merawat alam , marilah menjaga kebersihan laut dengan tidak membuang sampah di laut dan mengurangi penggunaan plastik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar