Tidak ada yang menyangka akan mengalami kondisi “lumpuh”
selama hampir 2 bulan ini. Pandemi Covid 19 (Corona Disease 2019) yang membuat
sebagian besar negara dan rakyatnya mengurung diri di rumah masing-masing,
menjaga jarak, menghentikan kebiasaan bersalaman, membiasakan mencuci tangan
dengan sabun, menggunakan masker setiap keluar rumah, mandi setelah bepergian,
menjauhi kerumunan, berinteraksi dengan memanfaatkan teknologi, dan lain-lain.
Semua orang merasakan dampak yang ditimbulkan oleh merebaknya
Covid 19, mulai dari anak balita hingga orangtua yang sepuh sekalipun, mulai
dari masyarakat berekonomi lemah hingga yang crazy rich, masyarakat yang
tinggal di perkotaan hingga pedesaan pojok gunung, daerah pantai hingga kota
besar metropolitan, semuanya … luar biasa!
Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus pertama Covid 19 pada
awal Maret 2019, otomatis sejak saat itu reaksi masyarakat bermacam-macam, di
tempat tinggal saya, sudah mulai melakukan penutupan wilayah (semi lockdown)
sehari setelah pengumuman presiden tersebut. Total sudah hampir 6 minggu warga
masyarakat di rumah saja, tidak ada aktivitas ekonomi seperti biasanya.
Orang-orang yang biasanya sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing setiap
harinya, yang biasa berdagang, membuka warung-warung usahanya menjadi di rumah
saja, yang sudah merencanakan hajatan besar seperti resepsi pernikahan juga
harus membatalkan acaranya, nyaris dalam 6 minggu ini mereka seperti orang-orang
bingung saja.
Para kaum Ibu-Ibu memanfaatkan waktunya dengan duduk-duduk
berkumpul bersama tetangga, hmmm.. padahal kegiatan berkumpul dilarang ya?
Ntahlah, mungkin untuk skala kecil dengan orang-orang yang diketahui jejak
aktivitasnya, tak masalah untuk saling berkumpul. Bagaimana dengan kaum Bapak?
Tak kalah pula dengan kaum Ibu, mereka juga membuat perkumpulan pula, alih-alih
bosan di rumah, mereka membuat jadwal ronda berkala untuk memantau
keluar-masuknya non warga, membahas langkah-langkah antisipasi jika ada warga
yang membandel, dan topik lainnya. Bagaimana dengan anak-anak? Tak kalah bosan
juga, tapi mereka punya cara yang lebih alami, bermain sepeda keliling komplek,
bosan dengan game di HP atau kuotanya yang terbatas, bermain bola di halaman,
kelihatannya untuk anak-anak tidak semenderita orang dewasa.
Memang covid 19 membawa kesusahan, namun kalau dilihat dari
sisi positifnya, kondisi ini membawa hal baik, yaitu dalam keberlimpahan waktu!
Namun, tak semua orang dapat menggunakan kemewahan waktu
yang tersajikan ini, mungkin karena kurang siap, panik dengan kondisi dan
pemberitaan dari berbagai media, atau memang tidak tahu musti ngapain.
Untuk kalangan pekerja professional, kondisi ini kurang
signifikan dirasakan, malahan mungkin malah menyebalkan , karena waktu kerja
menjadi tidak teratur, tak terbiasa dengan ritme work from home.
Stay at Home dan Ramadhan
Semakin hari jumlah pasien penderita covid 19 bertambah,
meskipun yang sembuh juga ada. Mulai Maret 2020, April 2020, dan Mei 2020 yang
sudah masuk minggu ke- 2 bulan Ramadhan,
penyebaran Covid 19 belum menunjukkan penurunan, status masih waspada.
Kondisi ketersediaan waktu yang berlimpah tadi dan moment
Ramadhan, merupakan suatu kebetulan yang indah, jika kita ingin melihat sisi
baiknya.
Bulan Ramadhan dimana Allah akan memberikan bonus-bonus
special untuk hamba-hambaNya yang menyibukkan diri dengan amal ibadah.
Biasanya, urusan duniawi kita lebih diutamakan dari urusan ibadah, sekarang
Allah seakan menyuguhkannnya, kita bisa memanfaatkannya dengan semaksimal mungkin
sembari memohon kepadaNya agar pandemi ini segera berakhir.
Di sinilah pentingnya belajar mengaji sedari kecil, pentingnya
memupuk gemar membaca sejak kecil, gemar melaksanakan ibadah-ibadah sunnah, pentingnya
memiliki hobi. Mengapa ? Karena dengan hal-hal tersebut membuat masa-masa
lockdown menjadi lebih bermakna.
Prihatin sekali melihat Ibu-Ibu yang masih produktif menghabiskan
waktunya berkumpul-kumpul, begitu pula dengan Bapak-Bapaknya. Kuota waktu yang
Allah berikan kepada kita semua sama, yaitu 24 jam. Sayang sekali jika kita
tidak memanfaatkannya dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, ya tidur
memberikan bermanfaat dan bernilai ibadah dalam puasa Ramadhan, tapi bila ada
yang nilainya lebih bermanfaat, seperti mengaji – mendalami tafsirnya, bukankah
lebih bermakna daripada tidur? Membaca buku-buku agama akan menambah wawasan
daripada hanya mendengar cerita yang berdasarkan “katanya”, atau menekuni hobi
seperti berkebun, membuat kue, menyulam, dan sejenisnya.
Waktu menjadi bermakna bukan karena lamanya, tapi karena
kebaikan-kebaikan yang kita lakukan didalamnya.