Senin, 29 Februari 2016

TERUSIR

Salah satu dari novel tulisan Buya Hamka yang pernah ada,  dengan settingan tahun 1930-an saat negara ini masih berada dalam jajahan Belanda serta adat istiadat masyarakat masih kuat dipahami, dan keadaan sosial ekonomi pendidikan pun masih terbatas.

Novel ini tidak terlalu tebal berjumlah 124 halaman, serta membacanya tidak menyita banyak waktu, kurang lebih sekitar 3 jam-an, namun efek yang ditinggalkan oleh novel ini sungguh dahsyat, membikin pening kepala dan kacau perasaan. Tak sedikit tetesan airmata yang diakibatkannya, ya ... singkat kata mengaduk-aduk emosi, sangat dramatis dan menyesakkan, ciri khas Buya Hamka, tokoh perempuan sebagai korban ketidak berdayaan dan harga diri laki-laki melawan adat  istiadat Minang dan keluarga besarnya saat itu.

Tokoh utama dalam novel ini adalah seorang perempuan kampung tak berharta dari kalangan biasa namun cantik rupanya, bernama Mariah. Sedangkan lelakinya adalah Azhar, seorang yang berasal dari keluarga kaya, terpandang, serta berpendidikan tinggi. Azhar jatuh cinta kepada Mariah dan menikahinya, walaupun ada pertentangan dalam keluarga masing-masing, karena perbedaan latar belakang keluarga dan sosial yang jauh diantara mereka berdua, tapi karena Azhar sangat mencintai Mariah, mereka pun akhirnya menikah, dan mempunyai satu orang anak lelaki yang diberi nama Sofyan. Berumah tangga selama 10 tahun, mereka jalani dengan segala dinamikanya, terutama Mariah yang harus menyesuaikan diri dengan berbagai tekanan dari pihak keluarga Azhar yang tidak menyenangi kehadirannya.

Pertahanan mahligai rumah tangga Mariah-Azhar selama 10 tahun, terpaksa runtuh karena ketergesaan, kecurigaan yang berlebihan dari Azhar,  keegosiannya yang  membabi buta, serta intrik jahat dari keluarganya.  Azhar mendapati sepupunya berada di kamar tidurnya bersama Mariah, padahal tidak ada perbuatan apa pun yang Mariah dan sepupunya tersebut lakukan. Namun Azhar sudah keburu emosi tingkat tinggi, dan tak mau berfikir secara tenang, mengambil keputusan cepat untuk mengusir Mariah dari rumah mereka dengan tuduhan berzina. Mariah sudah berulang kali menjelaskan ketidak berssalahannya dan memohon pengertian dan maaf dari Azhar, tapi percuma, Azhar tetap dengan keputusannya.  Disitulah awal mula penderitaan hidup Mariah bergulir, masa-masa menyedihkan bagi seorang perempuan yang sebatang kara.

Surat terakhir Mariah yang ditulis kepada Azhar, sebelum pergi meninggalkan Medan menuju Jawa mengikuti majikannya yang berkebangsaan Belanda.

...... Ingatkah engkau suamiku, bagaimana sepuluh tahun yang lalu , sewaktu aku masih remaja, engkau bersumpah dihadapanku bahwa engkau akan menjadi suamiki, akan membelaku sepenuh jiwa ragamu? Ingatkah engkau bahwa waktu itu mendiang ayahku telah mengatakan, “Sia-sia wahai orang muda! Engkau tidak akan tahan jika mengambil anakku menjadi istrimu sebab kami dari bangsa yang tidak terkenal, sedangkan engkau dan kaum kerabatmu dari kalangan bangsawan, engkau akan dipandang hina oleh kaummu, akan diejek, disisihkan dalam masyarakatmu”.

Ingatkah engkau suamiku bahwa ketika itu engkau berjanji akan tahan dan sabar menerima dugaan demikian karena engkau cintakan aku sepenuh jiwamu?

Ketika itu ayahku bersumpah, dengan air yang mengalir lebat di pipinya, ia berkata, “kalau demikian permintaanmu anak muda! Anakku aku serahkan ke tanganmu, serahan yang bulat- bulat. Tidak ada tempatnya bergantung lagi, melainkan engkau, sebab ibunya telah meninggal. Engkau pegang ia, didik ia baik-baik karena meskipun kami orang yang tidak terkenal, hanya orang gajian, tetapi anakku menerima pusaka (warisan) dari ibunya, yaitu kesetiaan!.....

Seorang sahabat Azhar, bernama Haji Abdul Halim memberikan beberapa nasehat atas permasalahannya ini,  “ heran saya, mengapa engkau secepat itu mengambil keputusan. Engkau usir istrimu seperti mengusir anjing. Sebab engkau dapati ia berdua dengan seorang lain dalam kamarmu, belum engkau periksa betul –betul perkara sebenarnya.”

“ Cara perceraianmu itu menunjukkan bahwa engkau tidak pandai menjaga istrimu. Hal tersebut merusak nama istrimu sendiri sehingga ia tidak engkau beri kesempatan untuk memperbaiki dirinya. Dan yang lebih rumit lagi, merusak masa depanmu.”

“Coba engkau pikirkan baik-baik, renungkan dengan tenang! Hidupmu yang beroleh cahaya, pikiranmu yang senantiasa terbuka, hati makhluk yang tertumpah padamu, adalah dari kejernihan mukamu. Dan kejernihan muka itu, wahai Sahabatku, bukanlah didapat dari pejabat (kantor) tempat bekerja, bukan dari jalan antara rumah dan tempat pekerjaan, tetapi kejernihan muka itu kita dapat dari dalam rumah tangga, rumah tangga yang dipimpin oleh istri yang pandai. Sebab, berkali-kali kubaca dalam buku hikayat orang besar-besar bahwa kejayaan, kemenangan yang mereka dapat kebanyakan didudkung oleh orang yang tidak dikenal, itulah ia istrinya!”

“ Sungguh, Sahabatku ... barang sesuatu apabila berada dalam tangan, kecacatannyalah yang tampak. Setelah ia lepas dari tangan, barulah kita akan ingat baiknya ...”

Susah payah Haji Abdul Halim menasehati Azhar, namun tak goyah pendiriannya. Sedangkan Mariah terus berjuang untuk berjuang agar tidak kelaparan, bisa mendapatkan tempat bernaung, mulai dari menumpang di rumah Pakciknya, kemudian dianggap menyusahkan oleh istri Pakcik, mencari pekerjaan kesana kemari, dan akhirnya mendapatkan pekerjaan di rumah keluarga Belanda, sebagai pembantu rumah tangga, hingga ia ikut pindah ke Jawa, dan bekerja selama 5 tahun.  Azhar setelah dinasehati oleh Haji Abdul Halim tergerak hatinya untuk mencari Mariah, dengan meyewa orang, tapi hasilnya nihil.

Keluarga Belanda sebagai majikan Mariah sudah selesai masa kerjanya di Indonesia dan harus kembali ke negara asalnya, sehingga Mariah bingung hendak meneruskan kemana setelah ini. Tawaran Yasin sebagai sesama pekerja rumah tangga untuk menikahinya diterima, padahal niat Yasin adalah tabungan Mariah yang berupa emas bergram-gram jumlahnya, tidak ada niatan lain, apakah cinta atau niat membangun rumah tangga yang baik. Hanya bertahun setahun saja, kemudia mereka bercerai, karena Yasin gemar berjudi dan main perempuan, tabungan Mariah pun sudah dihabiskan oleh Yasin untuk kegiatan senang-senangnya. Terpuruk untuk kesekian kalinya membuat Mariah hilang akal karena sudah berkali-kali mencoba untuk mencari dengan cara yang sesuai agamanya, akhirnya Mariah melacurkan diri. 

Selain itu, Sofyan anak Mariah dan Azhar sudah menjadi bujang  yang bersekolah di Jakarta jurusan Hukum. Setelah menamatkan sekolahnya, Sofyan membuka kantor pengacara dan bertunangan dengan teman sesama sekolahnya, Emi. Mariah pun telah mengetahuinya melalui koran yang mengiklankan tentang Sofyan sebagai Pembela dan Pengacara.

Namun, ada seorang teman Sofyan yang merasa tidak suka dengan keberhasilannya dalam karir dan percintaan, yaitu Wirja. Selain sakit hati karena cintanya ditolak oleh Emi, tunangan Sofyan, Wirja pun iri dengan kesuksesan Sofyan. Wirja menyewa seorang PSK untuk memperdaya Sofyan, agar rumah tangganya goyah, nama baiknya tercemar. Sayangnya, usaha itu gagal menggoyang Sofyan dan Emi. Malah, karena dalam rumah yang sama, Mariah mengetahui perihal Wirja yang bertengkar mengenai kegagalan usaha PSK yang disewanya itu,  dan menceritakan bahwa Sofyan sebenarnya adalah anaknya. Mariah memohon Wirja agar menjaga cerita ini, namun Wirja berntidak sebaliknya, bergegas pergi untuk mengabarkan cerita rahasia tersebut, agar Sofyan malu memiliki ibu seorang PSK. Mariah mencegah dan terjadi perkelahian antar mereka berdua. Mariah kalah, kemudian mengambil pisau yang ada di meja dan mengejar Wirja, dan... tak lama Wirja terkapar tak bernyawa, Mariah menyerahkan diri.

Sofyan menulis surat kepada ayahnya, Azhar... mengabarkan bahwa :

Ayahanda!
Dengan tiba-tiba saja pengadilan menyerahkan suatu perkara sulit supaya ananda bela, seorang perempuan lacur telah membunuh lelaki muda dalam rumah hina.

....Raut mukanya, meskipun telah berkedut, masih dapat menunjukkan bahwa perempuan itu asal orang baik-baik juga. Ia menekur ke bumi ketika ananda katakan bahwa kedatangan ananda  hendak menyiapkan pertahanan untuk dirinya.

Setelah beberapa saat kemudian, diangkatnya kepalanya, airmatanya mengalir  “Tuan Master”, katanya, “Tidak perlu Tuan bersusah payah untuk membela saya karena saya memang bersalah, memang saya bunuh orang itu karena memang ia seorang yang jahat, yang bermaksud jahat, kepada beberapa orang yang saya cintai”.

Di akhir surat, Sofyan meminta kedatangan Ayahnya dan Haji Abdul Halim untuk hadir di sidang pengadilan untuk mendukung dirinya dalam kasus ini.

Hari persidangan pun tiba, akan mendengarkan pembelaan dan vonis kepada Mariah. Sebelum menghadapa Hakim, saat Mariah dipanggil memasuki ruang sidang, sempat bertatapan mata antara Mariah dan Azhar yang duduk dibangku penonton. Azhar pun terkejut, namun Mariah biasa saja. Sebelum persidangan dimulai, Sofyan meminta doa dari ayahnya, dan Azhar mengatakan, “ Belalah perempuan ini dengan sehabis-habis dayamu , tumpahkanlah segenap kekuatan pikiran dan kepandaianmu dalam perkara ini”.

Jawaban Mariah saat ditanya oleh Hakim mengenai kasus pembunuhannya :
....”Dahulunya paduka Tuan, saya ini seorang perempuan baik-baik. Tetapi...tetapi karena suatu tuduhan paling hina dari suami saya, saya diusir dari rumahnya pada tengah malam, diusir dengan tidak diberi kesempatan mempertahankan diri . Anak saya yang masih kecil terpaksa saya tinggalkan  dan tidak boleh saya pegang lagi!”

Saya ketika itu masih muda, Tuan Hakim! Pergaulan saya hanya dengan orang yang rendah-rendah saja. Tidak ada orang yang sudi memelihara atau meneria saya dengan jalan yang baik, kadang-kadang saya makan dan kadang-kadang saya tidak maka hati saya pun panaslah, saya tahu bahwa sebagian besar laki-laki hanya meminta saya memohonkan nasinya dari jalan haram, lalu saya
perkenankan permintaan itu, saya tempuhlah jalan haram, saya menjadi jahat!”

“Tidak lama saya dapat menjual diri saya denga jalan demikian karena saya pun berangsur tua, tua lebbih dahulu daripada waktunya. Tetapi, saya masih ingat kepada anak saya . Tiba-tiba setelah beberapa tahun berlalu, saya denga kabar bahwa anak itu telah besar dan berjaya dalam hidupnya, menjadi orang yang dihormati masyarakat.

Meskipun keras keinginan saya hendak menemuinya, hendak mencium keningnya, hendak melepaskan kecintaan seorang ibu yang telah lama ingin bertemu, saya tahan hati saya karena jurang yang membatasi saya denga ia telah sangat dalam. Ia tidak boleh tahu siapa saya, ia tidak boleh tahu bahwa saya ibunya...supaya hatinya tidak kecewa, supaya kebahagiaannya untuk zaman yang akan datang tidak terhalang, saya tidak mau begitu!

Saya melakukan perbuatan saya sebagai orang jahat, Wirja yang menjadi tetamu saya, mengatakan bahwa ia kenal akan anak saya dan mengatakan bahwa ia bermusuh dengan anak itu. Bermaksud hendak menghinakan anak saya, hendak menjatuhkan derajatnya yang tinggi. Saya bertengkar Tuan, saya halangi niatnya, saya minta dan saya pujuk, ia tidak mau, maka terjadilah pertengkaran saya dengan ia. Maka daripada anak saya dapat cemar, daripada ia menangggung malu, saya bunuhlah Wirja, musuhnya itu saya bunuh, saya tikam dengan sengaja. Karena dengan cara demikianlah dapatnya lagi saya membela anak saya.”

Pembelaan Sofyan terhadap Mariah ....
“ Betul perempuan ini jahat menurut pandangan kita, menurut hukum masyarakat kita. Tetapi, kita tidak boleh segera mengutuk semua perempuan telah tadi jahat. Tiap hari kita mendengar perempuan yang dipaksa oleh kesulitan penghidupan  sehingga kemiskinan itu menghilangkan rasa malu, dan adakalanya seorang perempuan tersesat, terjerumus ke lembah kehinaan bukan karena salahnya sendiri, sebab ia seorang perempuan yang lemah tetapi dari salah kita laki-laki jua!

Perempuan ini tidak berniat salah, tidak ada niatnya yang lebih dahulu untuk mengaiaya. Kalau ada orang yang patut dihukum dalam perkara ini, tidak lain daripada orang yang mula-mula memisahkan ia dengan anaknya, orang itu adalah suaminya yang pertama...”

Setelah sidang mendengarkan pengakuan Mariah dan pembelaan Sofyan, maka mereka menunggu vonis apa yang akan dijatuhkan.  Sementara menuju keluar ruang sidang untuk menunggu vonis, Mariah sempat melihat Azhar. Azhar melihatnya dengan wajah pucat, seakan-akan hendak berlutut meminta ampun, tetapi Mariah balas menatap dengan rupa yang masih kecewa, tanda bahwa kesalahan suaminya itu belum juga dimaafkannya.

Wajah Mariah semakin lama semakin pucat saat menunggu vonis, Sofyan pun mendekat, demikian pula Azhar dan Haji Abdul Halim. Setelah Sofyan mendekat, Mariah memeluknya sambil berkata dengan air mata yang mengalir, “ Ibu seorang yang miskin, Ibu tak membalas jasamu yang begitu besar kepadaku! Sudilah kuberi upahan sebagai tanda mata yang dapat engkau ingat selama hidupmu? Yakni tanda mata yang sudah lama pula , sudah berpuluh tahun kusimpan untukmu?”
Kalau Master (Sofyan) suka akan kuberikan sekarang , sebelum aku menutup mata, yaitu ciuman seorang Ibu.”

Lama sekali Mariah membelai dan menciumi kening Sofya dengan tenang dan penuh cinta, tak lama pun, Mariah menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Setelah berbulan-bulan lamanya sejak Mariah meninggal, Sofyan menikahi Emi, dan Azhar kembali ke Sumatera. Pada suatu hari, Azhar menyurati Sofyan untuk menjenguuknya, karena sakit yang dideritanya. Azhar dihadapan Sofyan dan Haji Abdul Halim, mengatakan rahasia yang selama ini disimpannya, tentang Mariah sebenar-benarnya adalah Ibunya.

“Perempuan itulah ibu kandungmu, yang telah menghadapi kesengsaraan sedemikian rupa lantaran kesalahan ayahmu sendiri. Benarlah anakku apa yang engkau sampaikan dihadapan hakin, bahwasanya kalau hendak menghukum, hukumlah suaminya yang pertama telah membuat perempuan itu sengsara!”

Tidak berapa lama kemudian, Azhar menemui ajalnya dalam pangkuan anaknya. Dramatis...begitulah akhir kisah ini, Sofyan hidup berbahagia dengan keluarga kecilnya.

Pelajaran yang bisa diambil dari kisah ini:
  • Jangan menuruti emosi marah sehingga membuat keputusan yang akan disesali kemudian. “Jangan pernah menghempas pintu, siapa tahu kita harus kembali “ – Don Herold
  • Sesuatu yang buruk belum tentu seperti yang kita pikirkan, karena kita tidak tahu latar belakang yang menyebabkan keburukan tersebut.
  • Jangan terlalu memikirkan perkataan dan anggapan orang lain terhadap diri kita, yakini apa yang kita pikirkan tanpa terlalu berpengaruh akan perkataan orang lain.

Senin, 22 Februari 2016

Di Bawah Surya Khatulistiwa

Saya begitu bersemangat mendapatkan kesempatan untuk berkunjung ke kabupaten ini, sudah lama sekali ingin kesini, tapi..karena jarak yang jauh dan tidak ada alasan untuk berkunjung, jadi ya..hanya sebatas keinginan. Alhamdulillah, Allah tidak pernah tidur kan? Gusti Allah mboten sare, kata temen-temen yang berbahasa Jawa, dapatlah kesempatan itu pada akhirnya. Bersemangatlah saya, seperti semangat akan ikut demo masa reformasi ’98 hehe *euy lamanya pun itu..ya iyalah, ngaku kalo angkatan generasi gemilang taon ‘98an, pemudi masa depan negara, yesss! :D


Perbuatan pertama yang saya lakukan, adalah mencari informasi terkini tentang daerah Kapuas Hulu, walaupun saya terlahir di propinsi Kalimantan Barat, masih dalam satu propinsi, tapi karena letaknya yang jauh pake banget antara kabupaten dengan ibukota Kalimantan Barat, saya lahir dan besar di kota Pontianak, info seputar Kapuas Hulu hanya didapat dari mulut ke mulut... secara manual dan tradisional begitu. Nah, hasil perbuatan saya mencari informasi, begini nih...

Kabupaten Kapuas Hulu 
Ibu kota kabupaten ini terletak di Putussibau,  dapat ditempuh lewat transportasi sungai Kapuas sejauh 846 km, lewat jalan darat sejauh 814 km dan lewat udara ditempuh dengan pesawat berbadan kecil dari Pontianak melalui Bandar Udara Pangsuma. Memiliki luas wilayah 29.842 km² dan berpenduduk 222.160 Hasil Sensus Penduduk Tahun 2010.

Potensi daerah
Hasil hutan di wilayah Kesatuan Pemangku Hutan Putussibau dan Semitau jadi andalan utama roda perekonomian Kapuas Hulu. Hasilnya berupa kayu bulat yang terbagi dalam tiga kelompok, meranti, rimba campuran dan kayu indah.
Di sektor perikanan, Kapuas Hulu tergolong habitat puluhan jenis ikan hias, seperti arwana (arowana) dan ulanguli. Habitat ikan ini hanya ada di dalam Danau Sentarum. Di kawasan lain seperti kawasan hulu sungai Kapuas, Embaloh, Mendalam dan Sibau dengan hasil seperti ikan jelawat, semah, toman, tengadak, belida, lais, entokan dan baung
Transportasi
Kabupaten ini memiliki sebuah lapangan terbang yang terletak di kota Putussibau, yaitu Bandar Udara Pangsuma (Bandara Pangsuma) yang memiliki Panjang Landasan/Arah/PCN: 1.004 x 23 m / 10-28 / 5 FCZU, tergolong Kelas IV dengan kemampuan bisa untuk mendarat jenis pesawat DHC-6 serta memiliki Terminal Domestik seluas 240 m2.

Nah, baca kondisinya, jadi semangat travelling-nya, semakin menggebu-gebu, apalagi ditambah liat peta, hummmhhh..tambah mules hehe...

Trus lanjut browsing website Pemerintah Daerah Kapuas Hulu, lumayan..websitenya update juga, jempol deh buat PemKab Kapuas Hulu ;)

Ada sejarahnya juga, sekalian belajar lagi, inget-inget semasa berseragam merah putih , kayaknya gak pernah belajar sejarah daerah ini,..jadi terwow-wow bacanya...hmmm

Sejarah Singkat Kapuas Hulu

Masa Penjajahan Belanda

Sekitar tahun 1823, Belanda memasuki wilayah Kapuas Hulu dengan izin dari Kerajaan Selimbau. Belanda segera melakukan perjanjian dengan Kerajaan Selimbau. Perjanjian tersebut menegaskan kedaulatan dari Kerajaan Selimbau. Adapun isi dari perjanjian tersebut, antara lain :

1.      Tiada raja-raja yang lalu di air Hulu Kapuas dai Hulu Negeri Silat, yang lain dari Raja Selimbau dan Negeri Selimbau itulah yang ada bernama negeri dan raja yang berkuasa dahulu kala (berdaulat dan diakui).
2.      Tiada raja-raja dan negeri yang lain di air Hulu Kapuas ada yang menerima kontrak lebih dahulu atau bersamaan dari Sri Paduka Government, melainkan Raja Selimbau yaitu Pada zaman Pangeran Suma memegang tahta Kerajaan Negeri Selimbau, sebabnya yang lain tiada memiliki kekuasaan negara yang tiada raja dan kerajaan kedaulatan.
3.      Pada masa Raja Selimbau menerima kontrak yang pertamanya dari Sri Paduka Government maka semuanya yang ada di Air Kapuas takluk di bawahnya di Negeri Selimbau (tercatat) pada tanggal 15 November 1823 atau 11 Rabiul Awal 1279 Hijriah.

Sebelum adanya kontrak dengan pemerintah Hindia-Belanda yang berkedudukan di Kota Sintang, wilayah Hulu Negeri Silat sebagian berada di bawah kekuasaan pemerintah Hindia-Belanda. Melalui kontrak yang tertuang dalam surat persaksian perang Raja Negeri Selimbau, maka tidak diragukan bahwa semua wilayah Kapuas Hulu takluk di bawah kekuasaan Raja Negeri Selimbau.

Pada masa pemerintahan Sri Paduka Panembahan Haji Gusti Muhammad Abbas Surya Negara, Kerajaan Selimbau kedatangan seorang utusan Belanda yang seorang Asisten Residen Sintang bernama Cettersia. Utusan Belanda tersebut datang dengan maksud meminta izin kepada Raja Selimbau untuk menebang kayu yang akan digunakan untuk membangun benteng di daerah Sintang. Keseluruhan hasil kayu tersebut sebanyak 10 %  akan dibagikan kepada Raja Negeri Selimbau. Permohonan izin tersebut pun disetujui.

Dengan mengetahui banyaknya sumber daya alam yang ada di wilayah Kapuas Hulu, maka pemerintah Hindia-Belanda terus berupaya menempatkan dan menambah kekuatan militernya di daerah-daerah dan yang transportasinya lancar. Pemerintah Hindia-Belanda mulai mengintervensi sistem pemerintahan kerajaan di wilayah Kapuas Hulu melalui politik “adu domba”.  Dengan menjalankan politik “adu domba” dan kekuatan militer, pemerintah Hindia-Belanda di Kapuas Hulu semakin leluasa menindas rakyat dan menguras kekayaan alamnya.

Raja Selimbau tidak mampu mengendalikan  pemerintahannya secara utuh, sebab Belanda selalu mencampuri setiap keputusan yang dibuat oleh raja.  Pada tahun 1925, setelah Panembahan Haji Gusti  Usman mangkat yang juga menandai berakhirnya kedaulatan Kerajaan Selimbau, pemerintah Hindia-Belanda dapat menguasai wilayah Kapuas Hulu secara utuh.

Masa Penjajahan Jepang
Jepang masuk ke wilayah Kapuas Hulu pada tahun 1942 dengan membuka pertambangan batubara di bagian hulu Sungai Tebaung dan Sungai Mentebah. Pada masa itu, wilayah Kalimantan Barat dipimpin oleh Abang Oesman, K. Kastuki, dan Honggo.  Pada masa awal kedatangannya, Jepang disambut baik dengan harapan akan membebaskan rakyat dari penjajahan Belanda. Tetapi pada kenyataannya, Jepang bahkan tidak lebih baik dari Belanda. Jepang melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam dan manusia demi  kepentingan sepihak. Melihat ketimpangan ini, banyak rakyat yang melakukan perlawanan terhadap Jepang.

Pada masa Jepang, seluruh wilayah Kalimantan berada di bawah kekuasaan angkatan laut Jepang, Borneo Menseibu Coka yang berpusat di Banjarmasin, sedangkan untuk Kalimantan Barat berstatus “Minseibu Syuu”.

Masa Kemerdekaan
Berdasarkan Keputusan Gabungan Kerajaan-Kerajaan Borneo Barat pada tanggal 22 Oktober  1946 Nomor 20L, wilayah Kalimantan Barat terbagi kedalam 12 Swapraja, dan 3 Neo  Swapraja.  Wilayah Kapuas Hulu termasuk salah satu wilayah Neo Swapraja. Dengan dukungan Besluit Luitenant Gouvenur Nomor 8 tanggal 2 Maret 1948 yang berisi pengakuan Belanda terhadap status Kalimantan Barat sebagai daerah istimewa dengan pemerintahan sendiri beserta sebuah dewan Kalimantan Barat, maka pada tahun 1948, melalui Surat Keputusan Nomor 161 tanggal 10 Mei 1948, Presiden Kalimantan Barat membentuk suatu ikatan federasi dengan nama Daerah Istemewa Kalimantan Barat (DIKB).

Dengan adanya tuntutan rakyat , maka DIKB yang dipandang sebagai peninggalan pemerintah Belanda, dihapuskan. Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS), daerah Kalimantan Barat berstatus sebagai daerah bagian yang terdiri dari Daya Besar, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Banjar. Setelah bergabung menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dengan dikeluarkannya Undang-Undang Darurat No. 3 Tahun 1953, dibentuklah Pemerintahan Administrasi Kabupaten Kapuas Hulu dengan ibukota Putussibau.
Bupati pertama yang menjabat adalah J.C. Oevang Oeray (1951-1955), selanjutnya diteruskan oleh Anang Adrak (1955 – 1956)

Menarik membaca sejarahnya, walaupun singkat saja, terbayang dahulu kala belantara hutan Kapuas Hulu yang disesaki dengan pohon-pohon berukuran besar, pohon-pohon kualitas numero uno, mulai dari kayu belian, meranti, belum rotannya, pantesan Belanda ngeces setelah ngerti kekayaan daerah ini...hufttt, etapi..gak pernah dengar ada Kerajaan Selimbau itu, trus setelah di TKP pun tak ada penduduk setempat yang cerita tentang keraton atau istana, atau jejak-jejak kerajaan ini, malah dengarnya tentang Rumah Betang yang berusai ratusan tahun, kemudian terbakar, sedih ya..peninggalan sejarah bernasib begitu, Oklah kita lanjutkeun ke masa kekinian....


Perjalanan ini...

Dimulai dari Pulau Jawa ke Pulau Kalimantan, landing di Bandara Supadio Pontianak yang mulai kelihatan keren, dan setara dengan bandara-bandara di kota besar lainnya,  lumayan daripada yang dulu, euhhh tak tega menuliskannya :D. Kemudian keesokan harinya, penerbangan pagi menggunakan Garuda Indonesia yang kecil imut-imut, tapi keren berani landing di Kapuas Hulu, baru tau sih.., sebelumnya rute perjalanan ini dilayani maskapai Kalstar. 






Cuaca mendukung untuk penerbangan dengan perasaan yang ngeri-ngeri sedap, semakin mendekat tujuan, mata tak lepas dari kaca jendela pesawat untuk terus mengamati wilayah Kapuas Hulu dari ketinggian. Tampak Sungai Kapuas dengan airnya yang berwarna kecoklatan meliuk-liuk seperti ular naga cap go meh yang menari-nari, seperti gemulainya liukan ikan Arwana, sungguh memikat, belum lagi hamparan hutan yang menghijau, layaknya seperti permadani saja. Sungguh berbeda saat pesawat akan mendarat di wilayah Jakarta-Banten, Yogya, Solo, Surabaya, Bali...yang terpandang adalah hutan beton :D





Ada Kisah Tercipta di sini...

Setibanya di TKP, dijemput oleh mobil rental yang sudah dipesan sebelumnya menuju Hotel yang juga sudah dibooking. Hotel terletak di tengah kota dengan maksud agar mudah untuk mobilitas, selain itu juga, hotel ini direkomendasikan oleh berbagai pihak , Hotel Sanjaya, I think the best hotel in this district ;). Yah not bad lah, fasilitas kamar : kamar mandi dalam, air bersih, TV, tempat tidur spring bed, AC (ini penting sekali) tapiii..sayangnya posisi AC pas banget di atas tempat tidur dan atas kepala. Kamar hotel cukup luas jika ditempati seorang diri, setiap hari dibersihkan, wifi gratis di area loby, disediakan breakfast untuk setiap harinya, dengan menu roti beserta selainya, dan nasi dengan menu sederhana, serta teh dan kopi, siap sekitar jam 7. Hotel ini cukup ramai dengan tamu-tamu dari berbagai wilayah, saat itu nampak ada dari Dinas Kesehatan, dan beberapa tamu perusahaan-perusahaan.




Saya diberikan kamar di lantai 2 dari bangunan baru paling ujung dari keseluruh bangunan hotel, pertama masuk kamar, saya merasa tidak masalah dan malah merasa di luar bayangan selama ini tentang kondisi kamar hotel, walaupun memang ada perasaan aneh saat pertama memasuki kamar, namun saya abaikan perasaan aneh tersebut.

Memasuki senja, terdengar suara adzan Magrib, kebetulan saya sudah berwudhu, bersiap untuk segera menunaikan shalat, saya lihat langit bermendung tebal, seolah akan meruntuhkan air hujan yang banyak.  Takbir shalat pun saya lakukan, namun terhenti karena tiba-tiba saya mendengar ketukan sebanyak 3 kali dari jendela kamar. Segera saya batalkan shalat, dan melihat ke jendela, ketukan apa tadi, apakah jendela tak terkunci dan tertiup angin sehingga menimbulkan suara ketukan? Tapi saya tak merasa membuka jendela, apakah  ada burung yang mematuk-matuk jendela? Apakah ada tukang yang membetulkan jendela atau bagian bangunan lain? Atau ada anak-anak yang bermain panjat-panjatan?

Pertanyaan-pertanyaan itu yang ada di kepala saya, setelah saya periksa...nothing! Tak ada apa-apa, lagi pula bangunan ini langsung tembok, tidak ada terasnya, jadi bagaimana mungkin ada yang memanjat, dan hari sudah gelap, tidak mungkin juga masih ada tukang bekerja atau anak-anak yang bermain, aneh...begitu pikir saya. Tak lama, angin kencang beserta hujan deras, petir pun mengiringi, listrik mati, horor sekali ya...seakan-akan saya mendramatisir keadaan ahayy, padahal itulah keadaan yang sesungguhnya. Saya sempat merasa sangat takut saat listrik mati, khawatir akan ada yang suara ketukkan lagi, dan muncul boneka chuky, oh my ... hehehe... huhuhu, aseli takut saat itu. Tak lama listrik menyala, karena hotel punya jenset.

Keesokannya, disambut pagi yang cerah, saya bertemu dengan Abang driver rental, setelah bercakap-cakap beberapa topik, Abang driver bercerita bahwa sering tamu-tamu diganggu oleh makhluk-makhluk halus penghuni hotel, terutama di kamar yang saya tempati, oh noooo ... saya langsung ingat dengan ketukan tadi malam, saya cerita kepada Abang ini.

Selanjutnya, malam kedua, aman, malam ketiga dengan waktu yang hampir sama dengan malam pertama, yaitu saat akan shalat maghrib, suara ketukan itu ada lagi, oh ya Allah, nakal sekali mereka ya... saya pun mengeraskan bacaan shalat saya hehe...malam keempat aman, haduh tapi tetap saja , saya tak bisa tidur nyenyak selama disini, khawatir saat saya tidur nyenyak kemudian diseret dan dilemparkan ke Danau Sentarum ... Alhamdulillah tidak terjadi J.

Temuan-Temuan Menarik
Saya menemukan beberapa hal yang menurut saya sangat menarik selama disini, mari discroll down... J

Teras Sekolah
It’s so amazing, lantai teras sekolah ini semua dari kayu, yes ...kayu belian! Kenangan saya kembali ke zaman SD, saat itu sekolah saya mirip seperti ini, teras kayu dan beraroma minyak tanah untuk mengepel lantainya, supaya awet dan mengkilat. Oh so sweet kan ya.. tak pernah saya temukan sekolah-sekolah di Jawa yang berlantai kayu, hampir semua berkeramik.



Bangku Kayu
Ini pun bikin saya surprise dan menjerit ketika melihatnya hehe...bukannya ndeso atau sepok (norak-bahasa Pontianak), tapi bangku ini benar-benar langka dan antik, sudah lama sekali tak melihat penampakannya, dan saya menjumpainya di kantor Dinas Pendidikan, berjejer rapi, duhhh..dilestarikan ya Bapak Ibu J



Ikan Baung Besar
Ini ikan sebangsa Lele jika di Jawa, bedanya ikan Baung ini tumbuh kembang di Sungai, rasa dagingnya..amboi, kalau dimasak kuah bening ditemani sambal terasi, duh nikmatnya tiada terkatakan haha..ketje badai deh rasanya! Ikan ini hasil pancingan seorang Bapak tua di sungai, kemudian beliau menjualnya kepada Ibu warung yang saya singgahi, rasanya pengin beli saja kemudian segera memasak dan buat sambal terasi, sayang sedang bertugas Buuu...




Rumah Betang Modern
Menurut Abang driver, jika hendak melihat rumah betang yang asli sli, ya harus masuk kampung, nah yang berada di pinggiran jalan besar sekarang ini adalah rumah betang modern. Modernnya adalah sudah berdinding semen, bukan kayu, meskipun lantai masih berasal dari kayu, dan menurut saya penampakannya seperti ruko, walaupun bentuknya masih membentang (memanjang).



Jembatan Kayu Belian
One last one, ketika terpandang jembatan ini, saya langsung heboh meminta Abang driver untuk berhenti, padahal saat itu siang terik dengan sinar matahari yang jreng dan udara panas sekali, Abang driver sudah protes saja, but I dont care hehe..tapi tak surut langkah untuk menuju jembatan ini, dan jeprat jepret pun terlaksana. Jembatan ini kokoh, terbuat dari kayu belian semua,  saya lupa bertanya kepada Abang driver daerah mana letak jembatan ini dan riwayatnya juga, pokoknya begitulah penampakannya ya.. J




Demikian...sekilas cerita selama berada di Putussibau, belum puas, pasti, belum menjejakkan kaki ke Danau Sentarum, belum ke perbatasan Badau, masih penasaran dengan Kecamatan Puring Kencana yang katanya.. “aduhai” hoho..., belum melihat rumah Betang yang asli konon berusia banyak tahun.

“Ya Allah, titip mimpi ini, supaya bisa terwujud , entah kapan, entah bagaimana...hanya Engkau yang Maha Mengetahui, Aamiin”. J