Salah satu dari
novel tulisan Buya Hamka yang pernah ada,
dengan settingan tahun 1930-an saat negara ini masih berada dalam
jajahan Belanda serta adat istiadat masyarakat masih kuat dipahami, dan keadaan
sosial ekonomi pendidikan pun masih terbatas.
Novel ini tidak
terlalu tebal berjumlah 124 halaman, serta membacanya tidak menyita banyak
waktu, kurang lebih sekitar 3 jam-an, namun efek yang ditinggalkan oleh novel
ini sungguh dahsyat, membikin pening kepala dan kacau perasaan. Tak sedikit
tetesan airmata yang diakibatkannya, ya ... singkat kata mengaduk-aduk emosi,
sangat dramatis dan menyesakkan, ciri khas Buya Hamka, tokoh perempuan sebagai
korban ketidak berdayaan dan harga diri laki-laki melawan adat istiadat Minang dan keluarga besarnya saat itu.
Tokoh utama
dalam novel ini adalah seorang perempuan kampung tak berharta dari kalangan
biasa namun cantik rupanya, bernama Mariah. Sedangkan lelakinya adalah Azhar,
seorang yang berasal dari keluarga kaya, terpandang, serta berpendidikan
tinggi. Azhar jatuh cinta kepada Mariah dan menikahinya, walaupun ada
pertentangan dalam keluarga masing-masing, karena perbedaan latar belakang
keluarga dan sosial yang jauh diantara mereka berdua, tapi karena Azhar sangat
mencintai Mariah, mereka pun akhirnya menikah, dan mempunyai satu orang anak
lelaki yang diberi nama Sofyan. Berumah tangga selama 10 tahun, mereka jalani
dengan segala dinamikanya, terutama Mariah yang harus menyesuaikan diri dengan
berbagai tekanan dari pihak keluarga Azhar yang tidak menyenangi kehadirannya.
Pertahanan
mahligai rumah tangga Mariah-Azhar selama 10 tahun, terpaksa runtuh karena ketergesaan,
kecurigaan yang berlebihan dari Azhar, keegosiannya
yang membabi buta, serta intrik jahat
dari keluarganya. Azhar mendapati
sepupunya berada di kamar tidurnya bersama Mariah, padahal tidak ada perbuatan
apa pun yang Mariah dan sepupunya tersebut lakukan. Namun Azhar sudah keburu
emosi tingkat tinggi, dan tak mau berfikir secara tenang, mengambil keputusan
cepat untuk mengusir Mariah dari rumah mereka dengan tuduhan berzina. Mariah
sudah berulang kali menjelaskan ketidak berssalahannya dan memohon pengertian
dan maaf dari Azhar, tapi percuma, Azhar tetap dengan keputusannya. Disitulah awal mula penderitaan hidup Mariah
bergulir, masa-masa menyedihkan bagi seorang perempuan yang sebatang kara.
Surat terakhir
Mariah yang ditulis kepada Azhar, sebelum pergi meninggalkan Medan menuju Jawa
mengikuti majikannya yang berkebangsaan Belanda.
...... Ingatkah engkau suamiku, bagaimana sepuluh
tahun yang lalu , sewaktu aku masih remaja, engkau bersumpah dihadapanku bahwa
engkau akan menjadi suamiki, akan membelaku sepenuh jiwa ragamu? Ingatkah
engkau bahwa waktu itu mendiang ayahku telah mengatakan, “Sia-sia wahai orang
muda! Engkau tidak akan tahan jika mengambil anakku menjadi istrimu sebab kami
dari bangsa yang tidak terkenal, sedangkan engkau dan kaum kerabatmu dari
kalangan bangsawan, engkau akan dipandang hina oleh kaummu, akan diejek,
disisihkan dalam masyarakatmu”.
Ingatkah engkau suamiku bahwa ketika itu engkau
berjanji akan tahan dan sabar menerima dugaan demikian karena engkau cintakan
aku sepenuh jiwamu?
Ketika itu ayahku bersumpah, dengan air yang
mengalir lebat di pipinya, ia berkata, “kalau demikian permintaanmu anak muda!
Anakku aku serahkan ke tanganmu, serahan yang bulat- bulat. Tidak ada tempatnya
bergantung lagi, melainkan engkau, sebab ibunya telah meninggal. Engkau pegang
ia, didik ia baik-baik karena meskipun kami orang yang tidak terkenal, hanya
orang gajian, tetapi anakku menerima pusaka (warisan) dari ibunya, yaitu
kesetiaan!.....
Seorang sahabat
Azhar, bernama Haji Abdul Halim memberikan beberapa nasehat atas
permasalahannya ini, “ heran saya, mengapa engkau secepat itu
mengambil keputusan. Engkau usir istrimu seperti mengusir anjing. Sebab engkau
dapati ia berdua dengan seorang lain dalam kamarmu, belum engkau periksa betul
–betul perkara sebenarnya.”
“ Cara perceraianmu itu menunjukkan bahwa engkau
tidak pandai menjaga istrimu. Hal tersebut merusak nama istrimu sendiri
sehingga ia tidak engkau beri kesempatan untuk memperbaiki dirinya. Dan yang
lebih rumit lagi, merusak masa depanmu.”
“Coba engkau pikirkan baik-baik, renungkan dengan
tenang! Hidupmu yang beroleh cahaya, pikiranmu yang senantiasa terbuka, hati
makhluk yang tertumpah padamu, adalah dari kejernihan mukamu. Dan kejernihan
muka itu, wahai Sahabatku, bukanlah didapat dari pejabat (kantor) tempat
bekerja, bukan dari jalan antara rumah dan tempat pekerjaan, tetapi kejernihan
muka itu kita dapat dari dalam rumah tangga, rumah tangga yang dipimpin oleh
istri yang pandai. Sebab, berkali-kali kubaca dalam buku hikayat orang
besar-besar bahwa kejayaan, kemenangan yang mereka dapat kebanyakan didudkung
oleh orang yang tidak dikenal, itulah ia istrinya!”
“ Sungguh, Sahabatku ... barang sesuatu apabila
berada dalam tangan, kecacatannyalah yang tampak. Setelah ia lepas dari tangan,
barulah kita akan ingat baiknya ...”
Susah payah Haji
Abdul Halim menasehati Azhar, namun tak goyah pendiriannya. Sedangkan Mariah
terus berjuang untuk berjuang agar tidak kelaparan, bisa mendapatkan tempat
bernaung, mulai dari menumpang di rumah Pakciknya, kemudian dianggap
menyusahkan oleh istri Pakcik, mencari pekerjaan kesana kemari, dan akhirnya
mendapatkan pekerjaan di rumah keluarga Belanda, sebagai pembantu rumah tangga,
hingga ia ikut pindah ke Jawa, dan bekerja selama 5 tahun. Azhar setelah dinasehati oleh Haji Abdul
Halim tergerak hatinya untuk mencari Mariah, dengan meyewa orang, tapi hasilnya
nihil.
Keluarga Belanda
sebagai majikan Mariah sudah selesai masa kerjanya di Indonesia dan harus
kembali ke negara asalnya, sehingga Mariah bingung hendak meneruskan kemana
setelah ini. Tawaran Yasin sebagai sesama pekerja rumah tangga untuk
menikahinya diterima, padahal niat Yasin adalah tabungan Mariah yang berupa
emas bergram-gram jumlahnya, tidak ada niatan lain, apakah cinta atau niat
membangun rumah tangga yang baik. Hanya bertahun setahun saja, kemudia mereka
bercerai, karena Yasin gemar berjudi dan main perempuan, tabungan Mariah pun
sudah dihabiskan oleh Yasin untuk kegiatan senang-senangnya. Terpuruk untuk
kesekian kalinya membuat Mariah hilang akal karena sudah berkali-kali mencoba
untuk mencari dengan cara yang sesuai agamanya, akhirnya Mariah melacurkan
diri.
Selain itu,
Sofyan anak Mariah dan Azhar sudah menjadi bujang yang bersekolah di Jakarta jurusan Hukum. Setelah
menamatkan sekolahnya, Sofyan membuka kantor pengacara dan bertunangan dengan
teman sesama sekolahnya, Emi. Mariah pun telah mengetahuinya melalui koran yang
mengiklankan tentang Sofyan sebagai Pembela dan Pengacara.
Namun, ada
seorang teman Sofyan yang merasa tidak suka dengan keberhasilannya dalam karir
dan percintaan, yaitu Wirja. Selain sakit hati karena cintanya ditolak oleh
Emi, tunangan Sofyan, Wirja pun iri dengan kesuksesan Sofyan. Wirja menyewa
seorang PSK untuk memperdaya Sofyan, agar rumah tangganya goyah, nama baiknya
tercemar. Sayangnya, usaha itu gagal menggoyang Sofyan dan Emi. Malah, karena
dalam rumah yang sama, Mariah mengetahui perihal Wirja yang bertengkar mengenai
kegagalan usaha PSK yang disewanya itu,
dan menceritakan bahwa Sofyan sebenarnya adalah anaknya. Mariah memohon
Wirja agar menjaga cerita ini, namun Wirja berntidak sebaliknya, bergegas pergi
untuk mengabarkan cerita rahasia tersebut, agar Sofyan malu memiliki ibu
seorang PSK. Mariah mencegah dan terjadi perkelahian antar mereka berdua.
Mariah kalah, kemudian mengambil pisau yang ada di meja dan mengejar Wirja,
dan... tak lama Wirja terkapar tak bernyawa, Mariah menyerahkan diri.
Sofyan menulis
surat kepada ayahnya, Azhar... mengabarkan bahwa :
Ayahanda!
Dengan tiba-tiba saja pengadilan menyerahkan suatu
perkara sulit supaya ananda bela, seorang perempuan lacur telah membunuh lelaki
muda dalam rumah hina.
....Raut mukanya, meskipun telah berkedut, masih
dapat menunjukkan bahwa perempuan itu asal orang baik-baik juga. Ia menekur ke
bumi ketika ananda katakan bahwa kedatangan ananda hendak menyiapkan pertahanan untuk dirinya.
Setelah beberapa saat kemudian, diangkatnya
kepalanya, airmatanya mengalir “Tuan
Master”, katanya, “Tidak perlu Tuan bersusah payah untuk membela saya karena
saya memang bersalah, memang saya bunuh orang itu karena memang ia seorang yang
jahat, yang bermaksud jahat, kepada beberapa orang yang saya cintai”.
Di akhir surat,
Sofyan meminta kedatangan Ayahnya dan Haji Abdul Halim untuk hadir di sidang
pengadilan untuk mendukung dirinya dalam kasus ini.
Hari persidangan
pun tiba, akan mendengarkan pembelaan dan vonis kepada Mariah. Sebelum
menghadapa Hakim, saat Mariah dipanggil memasuki ruang sidang, sempat
bertatapan mata antara Mariah dan Azhar yang duduk dibangku penonton. Azhar pun
terkejut, namun Mariah biasa saja. Sebelum persidangan dimulai, Sofyan meminta
doa dari ayahnya, dan Azhar mengatakan, “
Belalah perempuan ini dengan sehabis-habis dayamu , tumpahkanlah segenap
kekuatan pikiran dan kepandaianmu dalam perkara ini”.
Jawaban Mariah
saat ditanya oleh Hakim mengenai kasus pembunuhannya :
....”Dahulunya paduka Tuan, saya ini seorang
perempuan baik-baik. Tetapi...tetapi karena suatu tuduhan paling hina dari
suami saya, saya diusir dari rumahnya pada tengah malam, diusir dengan tidak
diberi kesempatan mempertahankan diri . Anak saya yang masih kecil terpaksa
saya tinggalkan dan tidak boleh saya
pegang lagi!”
“Saya ketika itu masih muda, Tuan Hakim!
Pergaulan saya hanya dengan orang yang rendah-rendah saja. Tidak ada orang yang
sudi memelihara atau meneria saya dengan jalan yang baik, kadang-kadang saya
makan dan kadang-kadang saya tidak maka hati saya pun panaslah, saya tahu bahwa
sebagian besar laki-laki hanya meminta saya memohonkan nasinya dari jalan
haram, lalu saya
perkenankan permintaan itu, saya tempuhlah jalan
haram, saya menjadi jahat!”
“Tidak lama saya dapat menjual diri saya denga jalan
demikian karena saya pun berangsur tua, tua lebbih dahulu daripada waktunya.
Tetapi, saya masih ingat kepada anak saya . Tiba-tiba setelah beberapa tahun
berlalu, saya denga kabar bahwa anak itu telah besar dan berjaya dalam
hidupnya, menjadi orang yang dihormati masyarakat.
Meskipun keras keinginan saya hendak menemuinya,
hendak mencium keningnya, hendak melepaskan kecintaan seorang ibu yang telah
lama ingin bertemu, saya tahan hati saya karena jurang yang membatasi saya
denga ia telah sangat dalam. Ia tidak boleh tahu siapa saya, ia tidak boleh
tahu bahwa saya ibunya...supaya hatinya tidak kecewa, supaya kebahagiaannya
untuk zaman yang akan datang tidak terhalang, saya tidak mau begitu!
Saya melakukan perbuatan saya sebagai orang jahat,
Wirja yang menjadi tetamu saya, mengatakan bahwa ia kenal akan anak saya dan
mengatakan bahwa ia bermusuh dengan anak itu. Bermaksud hendak menghinakan anak
saya, hendak menjatuhkan derajatnya yang tinggi. Saya bertengkar Tuan, saya
halangi niatnya, saya minta dan saya pujuk, ia tidak mau, maka terjadilah
pertengkaran saya dengan ia. Maka daripada anak saya dapat cemar, daripada ia
menangggung malu, saya bunuhlah Wirja, musuhnya itu saya bunuh, saya tikam
dengan sengaja. Karena dengan cara demikianlah dapatnya lagi saya membela anak
saya.”
Pembelaan Sofyan
terhadap Mariah ....
“ Betul perempuan ini jahat menurut pandangan kita,
menurut hukum masyarakat kita. Tetapi, kita tidak boleh segera mengutuk semua
perempuan telah tadi jahat. Tiap hari kita mendengar perempuan yang dipaksa
oleh kesulitan penghidupan sehingga
kemiskinan itu menghilangkan rasa malu, dan adakalanya seorang perempuan
tersesat, terjerumus ke lembah kehinaan bukan karena salahnya sendiri, sebab ia
seorang perempuan yang lemah tetapi dari salah kita laki-laki jua!
Perempuan ini tidak berniat salah, tidak ada niatnya
yang lebih dahulu untuk mengaiaya. Kalau ada orang yang patut dihukum dalam
perkara ini, tidak lain daripada orang yang mula-mula memisahkan ia dengan
anaknya, orang itu adalah suaminya yang pertama...”
Setelah sidang
mendengarkan pengakuan Mariah dan pembelaan Sofyan, maka mereka menunggu vonis
apa yang akan dijatuhkan. Sementara
menuju keluar ruang sidang untuk menunggu vonis, Mariah sempat melihat Azhar.
Azhar melihatnya dengan wajah pucat, seakan-akan hendak berlutut meminta ampun,
tetapi Mariah balas menatap dengan rupa yang masih kecewa, tanda bahwa
kesalahan suaminya itu belum juga dimaafkannya.
Wajah Mariah
semakin lama semakin pucat saat menunggu vonis, Sofyan pun mendekat, demikian
pula Azhar dan Haji Abdul Halim. Setelah Sofyan mendekat, Mariah memeluknya
sambil berkata dengan air mata yang mengalir, “ Ibu seorang yang miskin, Ibu tak membalas jasamu yang begitu besar
kepadaku! Sudilah kuberi upahan sebagai tanda mata yang dapat engkau ingat
selama hidupmu? Yakni tanda mata yang sudah lama pula , sudah berpuluh tahun
kusimpan untukmu?”
Kalau Master (Sofyan) suka akan kuberikan sekarang ,
sebelum aku menutup mata, yaitu ciuman seorang Ibu.”
Lama sekali
Mariah membelai dan menciumi kening Sofya dengan tenang dan penuh cinta, tak
lama pun, Mariah menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Setelah
berbulan-bulan lamanya sejak Mariah meninggal, Sofyan menikahi Emi, dan Azhar
kembali ke Sumatera. Pada suatu hari, Azhar menyurati Sofyan untuk
menjenguuknya, karena sakit yang dideritanya. Azhar dihadapan Sofyan dan Haji
Abdul Halim, mengatakan rahasia yang selama ini disimpannya, tentang Mariah sebenar-benarnya
adalah Ibunya.
“Perempuan itulah ibu kandungmu, yang telah
menghadapi kesengsaraan sedemikian rupa lantaran kesalahan ayahmu sendiri.
Benarlah anakku apa yang engkau sampaikan dihadapan hakin, bahwasanya kalau
hendak menghukum, hukumlah suaminya yang pertama telah membuat perempuan itu
sengsara!”
Tidak berapa
lama kemudian, Azhar menemui ajalnya dalam pangkuan anaknya. Dramatis...begitulah
akhir kisah ini, Sofyan hidup berbahagia dengan keluarga kecilnya.
Pelajaran yang bisa diambil dari kisah
ini:
- Jangan menuruti emosi marah sehingga membuat keputusan yang akan disesali kemudian. “Jangan pernah menghempas pintu, siapa tahu kita harus kembali “ – Don Herold
- Sesuatu yang buruk belum tentu seperti yang kita pikirkan, karena kita tidak tahu latar belakang yang menyebabkan keburukan tersebut.
- Jangan terlalu memikirkan perkataan dan anggapan orang lain terhadap diri kita, yakini apa yang kita pikirkan tanpa terlalu berpengaruh akan perkataan orang lain.