Senin, 29 Februari 2016

TERUSIR

Salah satu dari novel tulisan Buya Hamka yang pernah ada,  dengan settingan tahun 1930-an saat negara ini masih berada dalam jajahan Belanda serta adat istiadat masyarakat masih kuat dipahami, dan keadaan sosial ekonomi pendidikan pun masih terbatas.

Novel ini tidak terlalu tebal berjumlah 124 halaman, serta membacanya tidak menyita banyak waktu, kurang lebih sekitar 3 jam-an, namun efek yang ditinggalkan oleh novel ini sungguh dahsyat, membikin pening kepala dan kacau perasaan. Tak sedikit tetesan airmata yang diakibatkannya, ya ... singkat kata mengaduk-aduk emosi, sangat dramatis dan menyesakkan, ciri khas Buya Hamka, tokoh perempuan sebagai korban ketidak berdayaan dan harga diri laki-laki melawan adat  istiadat Minang dan keluarga besarnya saat itu.

Tokoh utama dalam novel ini adalah seorang perempuan kampung tak berharta dari kalangan biasa namun cantik rupanya, bernama Mariah. Sedangkan lelakinya adalah Azhar, seorang yang berasal dari keluarga kaya, terpandang, serta berpendidikan tinggi. Azhar jatuh cinta kepada Mariah dan menikahinya, walaupun ada pertentangan dalam keluarga masing-masing, karena perbedaan latar belakang keluarga dan sosial yang jauh diantara mereka berdua, tapi karena Azhar sangat mencintai Mariah, mereka pun akhirnya menikah, dan mempunyai satu orang anak lelaki yang diberi nama Sofyan. Berumah tangga selama 10 tahun, mereka jalani dengan segala dinamikanya, terutama Mariah yang harus menyesuaikan diri dengan berbagai tekanan dari pihak keluarga Azhar yang tidak menyenangi kehadirannya.

Pertahanan mahligai rumah tangga Mariah-Azhar selama 10 tahun, terpaksa runtuh karena ketergesaan, kecurigaan yang berlebihan dari Azhar,  keegosiannya yang  membabi buta, serta intrik jahat dari keluarganya.  Azhar mendapati sepupunya berada di kamar tidurnya bersama Mariah, padahal tidak ada perbuatan apa pun yang Mariah dan sepupunya tersebut lakukan. Namun Azhar sudah keburu emosi tingkat tinggi, dan tak mau berfikir secara tenang, mengambil keputusan cepat untuk mengusir Mariah dari rumah mereka dengan tuduhan berzina. Mariah sudah berulang kali menjelaskan ketidak berssalahannya dan memohon pengertian dan maaf dari Azhar, tapi percuma, Azhar tetap dengan keputusannya.  Disitulah awal mula penderitaan hidup Mariah bergulir, masa-masa menyedihkan bagi seorang perempuan yang sebatang kara.

Surat terakhir Mariah yang ditulis kepada Azhar, sebelum pergi meninggalkan Medan menuju Jawa mengikuti majikannya yang berkebangsaan Belanda.

...... Ingatkah engkau suamiku, bagaimana sepuluh tahun yang lalu , sewaktu aku masih remaja, engkau bersumpah dihadapanku bahwa engkau akan menjadi suamiki, akan membelaku sepenuh jiwa ragamu? Ingatkah engkau bahwa waktu itu mendiang ayahku telah mengatakan, “Sia-sia wahai orang muda! Engkau tidak akan tahan jika mengambil anakku menjadi istrimu sebab kami dari bangsa yang tidak terkenal, sedangkan engkau dan kaum kerabatmu dari kalangan bangsawan, engkau akan dipandang hina oleh kaummu, akan diejek, disisihkan dalam masyarakatmu”.

Ingatkah engkau suamiku bahwa ketika itu engkau berjanji akan tahan dan sabar menerima dugaan demikian karena engkau cintakan aku sepenuh jiwamu?

Ketika itu ayahku bersumpah, dengan air yang mengalir lebat di pipinya, ia berkata, “kalau demikian permintaanmu anak muda! Anakku aku serahkan ke tanganmu, serahan yang bulat- bulat. Tidak ada tempatnya bergantung lagi, melainkan engkau, sebab ibunya telah meninggal. Engkau pegang ia, didik ia baik-baik karena meskipun kami orang yang tidak terkenal, hanya orang gajian, tetapi anakku menerima pusaka (warisan) dari ibunya, yaitu kesetiaan!.....

Seorang sahabat Azhar, bernama Haji Abdul Halim memberikan beberapa nasehat atas permasalahannya ini,  “ heran saya, mengapa engkau secepat itu mengambil keputusan. Engkau usir istrimu seperti mengusir anjing. Sebab engkau dapati ia berdua dengan seorang lain dalam kamarmu, belum engkau periksa betul –betul perkara sebenarnya.”

“ Cara perceraianmu itu menunjukkan bahwa engkau tidak pandai menjaga istrimu. Hal tersebut merusak nama istrimu sendiri sehingga ia tidak engkau beri kesempatan untuk memperbaiki dirinya. Dan yang lebih rumit lagi, merusak masa depanmu.”

“Coba engkau pikirkan baik-baik, renungkan dengan tenang! Hidupmu yang beroleh cahaya, pikiranmu yang senantiasa terbuka, hati makhluk yang tertumpah padamu, adalah dari kejernihan mukamu. Dan kejernihan muka itu, wahai Sahabatku, bukanlah didapat dari pejabat (kantor) tempat bekerja, bukan dari jalan antara rumah dan tempat pekerjaan, tetapi kejernihan muka itu kita dapat dari dalam rumah tangga, rumah tangga yang dipimpin oleh istri yang pandai. Sebab, berkali-kali kubaca dalam buku hikayat orang besar-besar bahwa kejayaan, kemenangan yang mereka dapat kebanyakan didudkung oleh orang yang tidak dikenal, itulah ia istrinya!”

“ Sungguh, Sahabatku ... barang sesuatu apabila berada dalam tangan, kecacatannyalah yang tampak. Setelah ia lepas dari tangan, barulah kita akan ingat baiknya ...”

Susah payah Haji Abdul Halim menasehati Azhar, namun tak goyah pendiriannya. Sedangkan Mariah terus berjuang untuk berjuang agar tidak kelaparan, bisa mendapatkan tempat bernaung, mulai dari menumpang di rumah Pakciknya, kemudian dianggap menyusahkan oleh istri Pakcik, mencari pekerjaan kesana kemari, dan akhirnya mendapatkan pekerjaan di rumah keluarga Belanda, sebagai pembantu rumah tangga, hingga ia ikut pindah ke Jawa, dan bekerja selama 5 tahun.  Azhar setelah dinasehati oleh Haji Abdul Halim tergerak hatinya untuk mencari Mariah, dengan meyewa orang, tapi hasilnya nihil.

Keluarga Belanda sebagai majikan Mariah sudah selesai masa kerjanya di Indonesia dan harus kembali ke negara asalnya, sehingga Mariah bingung hendak meneruskan kemana setelah ini. Tawaran Yasin sebagai sesama pekerja rumah tangga untuk menikahinya diterima, padahal niat Yasin adalah tabungan Mariah yang berupa emas bergram-gram jumlahnya, tidak ada niatan lain, apakah cinta atau niat membangun rumah tangga yang baik. Hanya bertahun setahun saja, kemudia mereka bercerai, karena Yasin gemar berjudi dan main perempuan, tabungan Mariah pun sudah dihabiskan oleh Yasin untuk kegiatan senang-senangnya. Terpuruk untuk kesekian kalinya membuat Mariah hilang akal karena sudah berkali-kali mencoba untuk mencari dengan cara yang sesuai agamanya, akhirnya Mariah melacurkan diri. 

Selain itu, Sofyan anak Mariah dan Azhar sudah menjadi bujang  yang bersekolah di Jakarta jurusan Hukum. Setelah menamatkan sekolahnya, Sofyan membuka kantor pengacara dan bertunangan dengan teman sesama sekolahnya, Emi. Mariah pun telah mengetahuinya melalui koran yang mengiklankan tentang Sofyan sebagai Pembela dan Pengacara.

Namun, ada seorang teman Sofyan yang merasa tidak suka dengan keberhasilannya dalam karir dan percintaan, yaitu Wirja. Selain sakit hati karena cintanya ditolak oleh Emi, tunangan Sofyan, Wirja pun iri dengan kesuksesan Sofyan. Wirja menyewa seorang PSK untuk memperdaya Sofyan, agar rumah tangganya goyah, nama baiknya tercemar. Sayangnya, usaha itu gagal menggoyang Sofyan dan Emi. Malah, karena dalam rumah yang sama, Mariah mengetahui perihal Wirja yang bertengkar mengenai kegagalan usaha PSK yang disewanya itu,  dan menceritakan bahwa Sofyan sebenarnya adalah anaknya. Mariah memohon Wirja agar menjaga cerita ini, namun Wirja berntidak sebaliknya, bergegas pergi untuk mengabarkan cerita rahasia tersebut, agar Sofyan malu memiliki ibu seorang PSK. Mariah mencegah dan terjadi perkelahian antar mereka berdua. Mariah kalah, kemudian mengambil pisau yang ada di meja dan mengejar Wirja, dan... tak lama Wirja terkapar tak bernyawa, Mariah menyerahkan diri.

Sofyan menulis surat kepada ayahnya, Azhar... mengabarkan bahwa :

Ayahanda!
Dengan tiba-tiba saja pengadilan menyerahkan suatu perkara sulit supaya ananda bela, seorang perempuan lacur telah membunuh lelaki muda dalam rumah hina.

....Raut mukanya, meskipun telah berkedut, masih dapat menunjukkan bahwa perempuan itu asal orang baik-baik juga. Ia menekur ke bumi ketika ananda katakan bahwa kedatangan ananda  hendak menyiapkan pertahanan untuk dirinya.

Setelah beberapa saat kemudian, diangkatnya kepalanya, airmatanya mengalir  “Tuan Master”, katanya, “Tidak perlu Tuan bersusah payah untuk membela saya karena saya memang bersalah, memang saya bunuh orang itu karena memang ia seorang yang jahat, yang bermaksud jahat, kepada beberapa orang yang saya cintai”.

Di akhir surat, Sofyan meminta kedatangan Ayahnya dan Haji Abdul Halim untuk hadir di sidang pengadilan untuk mendukung dirinya dalam kasus ini.

Hari persidangan pun tiba, akan mendengarkan pembelaan dan vonis kepada Mariah. Sebelum menghadapa Hakim, saat Mariah dipanggil memasuki ruang sidang, sempat bertatapan mata antara Mariah dan Azhar yang duduk dibangku penonton. Azhar pun terkejut, namun Mariah biasa saja. Sebelum persidangan dimulai, Sofyan meminta doa dari ayahnya, dan Azhar mengatakan, “ Belalah perempuan ini dengan sehabis-habis dayamu , tumpahkanlah segenap kekuatan pikiran dan kepandaianmu dalam perkara ini”.

Jawaban Mariah saat ditanya oleh Hakim mengenai kasus pembunuhannya :
....”Dahulunya paduka Tuan, saya ini seorang perempuan baik-baik. Tetapi...tetapi karena suatu tuduhan paling hina dari suami saya, saya diusir dari rumahnya pada tengah malam, diusir dengan tidak diberi kesempatan mempertahankan diri . Anak saya yang masih kecil terpaksa saya tinggalkan  dan tidak boleh saya pegang lagi!”

Saya ketika itu masih muda, Tuan Hakim! Pergaulan saya hanya dengan orang yang rendah-rendah saja. Tidak ada orang yang sudi memelihara atau meneria saya dengan jalan yang baik, kadang-kadang saya makan dan kadang-kadang saya tidak maka hati saya pun panaslah, saya tahu bahwa sebagian besar laki-laki hanya meminta saya memohonkan nasinya dari jalan haram, lalu saya
perkenankan permintaan itu, saya tempuhlah jalan haram, saya menjadi jahat!”

“Tidak lama saya dapat menjual diri saya denga jalan demikian karena saya pun berangsur tua, tua lebbih dahulu daripada waktunya. Tetapi, saya masih ingat kepada anak saya . Tiba-tiba setelah beberapa tahun berlalu, saya denga kabar bahwa anak itu telah besar dan berjaya dalam hidupnya, menjadi orang yang dihormati masyarakat.

Meskipun keras keinginan saya hendak menemuinya, hendak mencium keningnya, hendak melepaskan kecintaan seorang ibu yang telah lama ingin bertemu, saya tahan hati saya karena jurang yang membatasi saya denga ia telah sangat dalam. Ia tidak boleh tahu siapa saya, ia tidak boleh tahu bahwa saya ibunya...supaya hatinya tidak kecewa, supaya kebahagiaannya untuk zaman yang akan datang tidak terhalang, saya tidak mau begitu!

Saya melakukan perbuatan saya sebagai orang jahat, Wirja yang menjadi tetamu saya, mengatakan bahwa ia kenal akan anak saya dan mengatakan bahwa ia bermusuh dengan anak itu. Bermaksud hendak menghinakan anak saya, hendak menjatuhkan derajatnya yang tinggi. Saya bertengkar Tuan, saya halangi niatnya, saya minta dan saya pujuk, ia tidak mau, maka terjadilah pertengkaran saya dengan ia. Maka daripada anak saya dapat cemar, daripada ia menangggung malu, saya bunuhlah Wirja, musuhnya itu saya bunuh, saya tikam dengan sengaja. Karena dengan cara demikianlah dapatnya lagi saya membela anak saya.”

Pembelaan Sofyan terhadap Mariah ....
“ Betul perempuan ini jahat menurut pandangan kita, menurut hukum masyarakat kita. Tetapi, kita tidak boleh segera mengutuk semua perempuan telah tadi jahat. Tiap hari kita mendengar perempuan yang dipaksa oleh kesulitan penghidupan  sehingga kemiskinan itu menghilangkan rasa malu, dan adakalanya seorang perempuan tersesat, terjerumus ke lembah kehinaan bukan karena salahnya sendiri, sebab ia seorang perempuan yang lemah tetapi dari salah kita laki-laki jua!

Perempuan ini tidak berniat salah, tidak ada niatnya yang lebih dahulu untuk mengaiaya. Kalau ada orang yang patut dihukum dalam perkara ini, tidak lain daripada orang yang mula-mula memisahkan ia dengan anaknya, orang itu adalah suaminya yang pertama...”

Setelah sidang mendengarkan pengakuan Mariah dan pembelaan Sofyan, maka mereka menunggu vonis apa yang akan dijatuhkan.  Sementara menuju keluar ruang sidang untuk menunggu vonis, Mariah sempat melihat Azhar. Azhar melihatnya dengan wajah pucat, seakan-akan hendak berlutut meminta ampun, tetapi Mariah balas menatap dengan rupa yang masih kecewa, tanda bahwa kesalahan suaminya itu belum juga dimaafkannya.

Wajah Mariah semakin lama semakin pucat saat menunggu vonis, Sofyan pun mendekat, demikian pula Azhar dan Haji Abdul Halim. Setelah Sofyan mendekat, Mariah memeluknya sambil berkata dengan air mata yang mengalir, “ Ibu seorang yang miskin, Ibu tak membalas jasamu yang begitu besar kepadaku! Sudilah kuberi upahan sebagai tanda mata yang dapat engkau ingat selama hidupmu? Yakni tanda mata yang sudah lama pula , sudah berpuluh tahun kusimpan untukmu?”
Kalau Master (Sofyan) suka akan kuberikan sekarang , sebelum aku menutup mata, yaitu ciuman seorang Ibu.”

Lama sekali Mariah membelai dan menciumi kening Sofya dengan tenang dan penuh cinta, tak lama pun, Mariah menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Setelah berbulan-bulan lamanya sejak Mariah meninggal, Sofyan menikahi Emi, dan Azhar kembali ke Sumatera. Pada suatu hari, Azhar menyurati Sofyan untuk menjenguuknya, karena sakit yang dideritanya. Azhar dihadapan Sofyan dan Haji Abdul Halim, mengatakan rahasia yang selama ini disimpannya, tentang Mariah sebenar-benarnya adalah Ibunya.

“Perempuan itulah ibu kandungmu, yang telah menghadapi kesengsaraan sedemikian rupa lantaran kesalahan ayahmu sendiri. Benarlah anakku apa yang engkau sampaikan dihadapan hakin, bahwasanya kalau hendak menghukum, hukumlah suaminya yang pertama telah membuat perempuan itu sengsara!”

Tidak berapa lama kemudian, Azhar menemui ajalnya dalam pangkuan anaknya. Dramatis...begitulah akhir kisah ini, Sofyan hidup berbahagia dengan keluarga kecilnya.

Pelajaran yang bisa diambil dari kisah ini:
  • Jangan menuruti emosi marah sehingga membuat keputusan yang akan disesali kemudian. “Jangan pernah menghempas pintu, siapa tahu kita harus kembali “ – Don Herold
  • Sesuatu yang buruk belum tentu seperti yang kita pikirkan, karena kita tidak tahu latar belakang yang menyebabkan keburukan tersebut.
  • Jangan terlalu memikirkan perkataan dan anggapan orang lain terhadap diri kita, yakini apa yang kita pikirkan tanpa terlalu berpengaruh akan perkataan orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar