Senin, 22 Februari 2016

Di Bawah Surya Khatulistiwa

Saya begitu bersemangat mendapatkan kesempatan untuk berkunjung ke kabupaten ini, sudah lama sekali ingin kesini, tapi..karena jarak yang jauh dan tidak ada alasan untuk berkunjung, jadi ya..hanya sebatas keinginan. Alhamdulillah, Allah tidak pernah tidur kan? Gusti Allah mboten sare, kata temen-temen yang berbahasa Jawa, dapatlah kesempatan itu pada akhirnya. Bersemangatlah saya, seperti semangat akan ikut demo masa reformasi ’98 hehe *euy lamanya pun itu..ya iyalah, ngaku kalo angkatan generasi gemilang taon ‘98an, pemudi masa depan negara, yesss! :D


Perbuatan pertama yang saya lakukan, adalah mencari informasi terkini tentang daerah Kapuas Hulu, walaupun saya terlahir di propinsi Kalimantan Barat, masih dalam satu propinsi, tapi karena letaknya yang jauh pake banget antara kabupaten dengan ibukota Kalimantan Barat, saya lahir dan besar di kota Pontianak, info seputar Kapuas Hulu hanya didapat dari mulut ke mulut... secara manual dan tradisional begitu. Nah, hasil perbuatan saya mencari informasi, begini nih...

Kabupaten Kapuas Hulu 
Ibu kota kabupaten ini terletak di Putussibau,  dapat ditempuh lewat transportasi sungai Kapuas sejauh 846 km, lewat jalan darat sejauh 814 km dan lewat udara ditempuh dengan pesawat berbadan kecil dari Pontianak melalui Bandar Udara Pangsuma. Memiliki luas wilayah 29.842 km² dan berpenduduk 222.160 Hasil Sensus Penduduk Tahun 2010.

Potensi daerah
Hasil hutan di wilayah Kesatuan Pemangku Hutan Putussibau dan Semitau jadi andalan utama roda perekonomian Kapuas Hulu. Hasilnya berupa kayu bulat yang terbagi dalam tiga kelompok, meranti, rimba campuran dan kayu indah.
Di sektor perikanan, Kapuas Hulu tergolong habitat puluhan jenis ikan hias, seperti arwana (arowana) dan ulanguli. Habitat ikan ini hanya ada di dalam Danau Sentarum. Di kawasan lain seperti kawasan hulu sungai Kapuas, Embaloh, Mendalam dan Sibau dengan hasil seperti ikan jelawat, semah, toman, tengadak, belida, lais, entokan dan baung
Transportasi
Kabupaten ini memiliki sebuah lapangan terbang yang terletak di kota Putussibau, yaitu Bandar Udara Pangsuma (Bandara Pangsuma) yang memiliki Panjang Landasan/Arah/PCN: 1.004 x 23 m / 10-28 / 5 FCZU, tergolong Kelas IV dengan kemampuan bisa untuk mendarat jenis pesawat DHC-6 serta memiliki Terminal Domestik seluas 240 m2.

Nah, baca kondisinya, jadi semangat travelling-nya, semakin menggebu-gebu, apalagi ditambah liat peta, hummmhhh..tambah mules hehe...

Trus lanjut browsing website Pemerintah Daerah Kapuas Hulu, lumayan..websitenya update juga, jempol deh buat PemKab Kapuas Hulu ;)

Ada sejarahnya juga, sekalian belajar lagi, inget-inget semasa berseragam merah putih , kayaknya gak pernah belajar sejarah daerah ini,..jadi terwow-wow bacanya...hmmm

Sejarah Singkat Kapuas Hulu

Masa Penjajahan Belanda

Sekitar tahun 1823, Belanda memasuki wilayah Kapuas Hulu dengan izin dari Kerajaan Selimbau. Belanda segera melakukan perjanjian dengan Kerajaan Selimbau. Perjanjian tersebut menegaskan kedaulatan dari Kerajaan Selimbau. Adapun isi dari perjanjian tersebut, antara lain :

1.      Tiada raja-raja yang lalu di air Hulu Kapuas dai Hulu Negeri Silat, yang lain dari Raja Selimbau dan Negeri Selimbau itulah yang ada bernama negeri dan raja yang berkuasa dahulu kala (berdaulat dan diakui).
2.      Tiada raja-raja dan negeri yang lain di air Hulu Kapuas ada yang menerima kontrak lebih dahulu atau bersamaan dari Sri Paduka Government, melainkan Raja Selimbau yaitu Pada zaman Pangeran Suma memegang tahta Kerajaan Negeri Selimbau, sebabnya yang lain tiada memiliki kekuasaan negara yang tiada raja dan kerajaan kedaulatan.
3.      Pada masa Raja Selimbau menerima kontrak yang pertamanya dari Sri Paduka Government maka semuanya yang ada di Air Kapuas takluk di bawahnya di Negeri Selimbau (tercatat) pada tanggal 15 November 1823 atau 11 Rabiul Awal 1279 Hijriah.

Sebelum adanya kontrak dengan pemerintah Hindia-Belanda yang berkedudukan di Kota Sintang, wilayah Hulu Negeri Silat sebagian berada di bawah kekuasaan pemerintah Hindia-Belanda. Melalui kontrak yang tertuang dalam surat persaksian perang Raja Negeri Selimbau, maka tidak diragukan bahwa semua wilayah Kapuas Hulu takluk di bawah kekuasaan Raja Negeri Selimbau.

Pada masa pemerintahan Sri Paduka Panembahan Haji Gusti Muhammad Abbas Surya Negara, Kerajaan Selimbau kedatangan seorang utusan Belanda yang seorang Asisten Residen Sintang bernama Cettersia. Utusan Belanda tersebut datang dengan maksud meminta izin kepada Raja Selimbau untuk menebang kayu yang akan digunakan untuk membangun benteng di daerah Sintang. Keseluruhan hasil kayu tersebut sebanyak 10 %  akan dibagikan kepada Raja Negeri Selimbau. Permohonan izin tersebut pun disetujui.

Dengan mengetahui banyaknya sumber daya alam yang ada di wilayah Kapuas Hulu, maka pemerintah Hindia-Belanda terus berupaya menempatkan dan menambah kekuatan militernya di daerah-daerah dan yang transportasinya lancar. Pemerintah Hindia-Belanda mulai mengintervensi sistem pemerintahan kerajaan di wilayah Kapuas Hulu melalui politik “adu domba”.  Dengan menjalankan politik “adu domba” dan kekuatan militer, pemerintah Hindia-Belanda di Kapuas Hulu semakin leluasa menindas rakyat dan menguras kekayaan alamnya.

Raja Selimbau tidak mampu mengendalikan  pemerintahannya secara utuh, sebab Belanda selalu mencampuri setiap keputusan yang dibuat oleh raja.  Pada tahun 1925, setelah Panembahan Haji Gusti  Usman mangkat yang juga menandai berakhirnya kedaulatan Kerajaan Selimbau, pemerintah Hindia-Belanda dapat menguasai wilayah Kapuas Hulu secara utuh.

Masa Penjajahan Jepang
Jepang masuk ke wilayah Kapuas Hulu pada tahun 1942 dengan membuka pertambangan batubara di bagian hulu Sungai Tebaung dan Sungai Mentebah. Pada masa itu, wilayah Kalimantan Barat dipimpin oleh Abang Oesman, K. Kastuki, dan Honggo.  Pada masa awal kedatangannya, Jepang disambut baik dengan harapan akan membebaskan rakyat dari penjajahan Belanda. Tetapi pada kenyataannya, Jepang bahkan tidak lebih baik dari Belanda. Jepang melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam dan manusia demi  kepentingan sepihak. Melihat ketimpangan ini, banyak rakyat yang melakukan perlawanan terhadap Jepang.

Pada masa Jepang, seluruh wilayah Kalimantan berada di bawah kekuasaan angkatan laut Jepang, Borneo Menseibu Coka yang berpusat di Banjarmasin, sedangkan untuk Kalimantan Barat berstatus “Minseibu Syuu”.

Masa Kemerdekaan
Berdasarkan Keputusan Gabungan Kerajaan-Kerajaan Borneo Barat pada tanggal 22 Oktober  1946 Nomor 20L, wilayah Kalimantan Barat terbagi kedalam 12 Swapraja, dan 3 Neo  Swapraja.  Wilayah Kapuas Hulu termasuk salah satu wilayah Neo Swapraja. Dengan dukungan Besluit Luitenant Gouvenur Nomor 8 tanggal 2 Maret 1948 yang berisi pengakuan Belanda terhadap status Kalimantan Barat sebagai daerah istimewa dengan pemerintahan sendiri beserta sebuah dewan Kalimantan Barat, maka pada tahun 1948, melalui Surat Keputusan Nomor 161 tanggal 10 Mei 1948, Presiden Kalimantan Barat membentuk suatu ikatan federasi dengan nama Daerah Istemewa Kalimantan Barat (DIKB).

Dengan adanya tuntutan rakyat , maka DIKB yang dipandang sebagai peninggalan pemerintah Belanda, dihapuskan. Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS), daerah Kalimantan Barat berstatus sebagai daerah bagian yang terdiri dari Daya Besar, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Banjar. Setelah bergabung menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dengan dikeluarkannya Undang-Undang Darurat No. 3 Tahun 1953, dibentuklah Pemerintahan Administrasi Kabupaten Kapuas Hulu dengan ibukota Putussibau.
Bupati pertama yang menjabat adalah J.C. Oevang Oeray (1951-1955), selanjutnya diteruskan oleh Anang Adrak (1955 – 1956)

Menarik membaca sejarahnya, walaupun singkat saja, terbayang dahulu kala belantara hutan Kapuas Hulu yang disesaki dengan pohon-pohon berukuran besar, pohon-pohon kualitas numero uno, mulai dari kayu belian, meranti, belum rotannya, pantesan Belanda ngeces setelah ngerti kekayaan daerah ini...hufttt, etapi..gak pernah dengar ada Kerajaan Selimbau itu, trus setelah di TKP pun tak ada penduduk setempat yang cerita tentang keraton atau istana, atau jejak-jejak kerajaan ini, malah dengarnya tentang Rumah Betang yang berusai ratusan tahun, kemudian terbakar, sedih ya..peninggalan sejarah bernasib begitu, Oklah kita lanjutkeun ke masa kekinian....


Perjalanan ini...

Dimulai dari Pulau Jawa ke Pulau Kalimantan, landing di Bandara Supadio Pontianak yang mulai kelihatan keren, dan setara dengan bandara-bandara di kota besar lainnya,  lumayan daripada yang dulu, euhhh tak tega menuliskannya :D. Kemudian keesokan harinya, penerbangan pagi menggunakan Garuda Indonesia yang kecil imut-imut, tapi keren berani landing di Kapuas Hulu, baru tau sih.., sebelumnya rute perjalanan ini dilayani maskapai Kalstar. 






Cuaca mendukung untuk penerbangan dengan perasaan yang ngeri-ngeri sedap, semakin mendekat tujuan, mata tak lepas dari kaca jendela pesawat untuk terus mengamati wilayah Kapuas Hulu dari ketinggian. Tampak Sungai Kapuas dengan airnya yang berwarna kecoklatan meliuk-liuk seperti ular naga cap go meh yang menari-nari, seperti gemulainya liukan ikan Arwana, sungguh memikat, belum lagi hamparan hutan yang menghijau, layaknya seperti permadani saja. Sungguh berbeda saat pesawat akan mendarat di wilayah Jakarta-Banten, Yogya, Solo, Surabaya, Bali...yang terpandang adalah hutan beton :D





Ada Kisah Tercipta di sini...

Setibanya di TKP, dijemput oleh mobil rental yang sudah dipesan sebelumnya menuju Hotel yang juga sudah dibooking. Hotel terletak di tengah kota dengan maksud agar mudah untuk mobilitas, selain itu juga, hotel ini direkomendasikan oleh berbagai pihak , Hotel Sanjaya, I think the best hotel in this district ;). Yah not bad lah, fasilitas kamar : kamar mandi dalam, air bersih, TV, tempat tidur spring bed, AC (ini penting sekali) tapiii..sayangnya posisi AC pas banget di atas tempat tidur dan atas kepala. Kamar hotel cukup luas jika ditempati seorang diri, setiap hari dibersihkan, wifi gratis di area loby, disediakan breakfast untuk setiap harinya, dengan menu roti beserta selainya, dan nasi dengan menu sederhana, serta teh dan kopi, siap sekitar jam 7. Hotel ini cukup ramai dengan tamu-tamu dari berbagai wilayah, saat itu nampak ada dari Dinas Kesehatan, dan beberapa tamu perusahaan-perusahaan.




Saya diberikan kamar di lantai 2 dari bangunan baru paling ujung dari keseluruh bangunan hotel, pertama masuk kamar, saya merasa tidak masalah dan malah merasa di luar bayangan selama ini tentang kondisi kamar hotel, walaupun memang ada perasaan aneh saat pertama memasuki kamar, namun saya abaikan perasaan aneh tersebut.

Memasuki senja, terdengar suara adzan Magrib, kebetulan saya sudah berwudhu, bersiap untuk segera menunaikan shalat, saya lihat langit bermendung tebal, seolah akan meruntuhkan air hujan yang banyak.  Takbir shalat pun saya lakukan, namun terhenti karena tiba-tiba saya mendengar ketukan sebanyak 3 kali dari jendela kamar. Segera saya batalkan shalat, dan melihat ke jendela, ketukan apa tadi, apakah jendela tak terkunci dan tertiup angin sehingga menimbulkan suara ketukan? Tapi saya tak merasa membuka jendela, apakah  ada burung yang mematuk-matuk jendela? Apakah ada tukang yang membetulkan jendela atau bagian bangunan lain? Atau ada anak-anak yang bermain panjat-panjatan?

Pertanyaan-pertanyaan itu yang ada di kepala saya, setelah saya periksa...nothing! Tak ada apa-apa, lagi pula bangunan ini langsung tembok, tidak ada terasnya, jadi bagaimana mungkin ada yang memanjat, dan hari sudah gelap, tidak mungkin juga masih ada tukang bekerja atau anak-anak yang bermain, aneh...begitu pikir saya. Tak lama, angin kencang beserta hujan deras, petir pun mengiringi, listrik mati, horor sekali ya...seakan-akan saya mendramatisir keadaan ahayy, padahal itulah keadaan yang sesungguhnya. Saya sempat merasa sangat takut saat listrik mati, khawatir akan ada yang suara ketukkan lagi, dan muncul boneka chuky, oh my ... hehehe... huhuhu, aseli takut saat itu. Tak lama listrik menyala, karena hotel punya jenset.

Keesokannya, disambut pagi yang cerah, saya bertemu dengan Abang driver rental, setelah bercakap-cakap beberapa topik, Abang driver bercerita bahwa sering tamu-tamu diganggu oleh makhluk-makhluk halus penghuni hotel, terutama di kamar yang saya tempati, oh noooo ... saya langsung ingat dengan ketukan tadi malam, saya cerita kepada Abang ini.

Selanjutnya, malam kedua, aman, malam ketiga dengan waktu yang hampir sama dengan malam pertama, yaitu saat akan shalat maghrib, suara ketukan itu ada lagi, oh ya Allah, nakal sekali mereka ya... saya pun mengeraskan bacaan shalat saya hehe...malam keempat aman, haduh tapi tetap saja , saya tak bisa tidur nyenyak selama disini, khawatir saat saya tidur nyenyak kemudian diseret dan dilemparkan ke Danau Sentarum ... Alhamdulillah tidak terjadi J.

Temuan-Temuan Menarik
Saya menemukan beberapa hal yang menurut saya sangat menarik selama disini, mari discroll down... J

Teras Sekolah
It’s so amazing, lantai teras sekolah ini semua dari kayu, yes ...kayu belian! Kenangan saya kembali ke zaman SD, saat itu sekolah saya mirip seperti ini, teras kayu dan beraroma minyak tanah untuk mengepel lantainya, supaya awet dan mengkilat. Oh so sweet kan ya.. tak pernah saya temukan sekolah-sekolah di Jawa yang berlantai kayu, hampir semua berkeramik.



Bangku Kayu
Ini pun bikin saya surprise dan menjerit ketika melihatnya hehe...bukannya ndeso atau sepok (norak-bahasa Pontianak), tapi bangku ini benar-benar langka dan antik, sudah lama sekali tak melihat penampakannya, dan saya menjumpainya di kantor Dinas Pendidikan, berjejer rapi, duhhh..dilestarikan ya Bapak Ibu J



Ikan Baung Besar
Ini ikan sebangsa Lele jika di Jawa, bedanya ikan Baung ini tumbuh kembang di Sungai, rasa dagingnya..amboi, kalau dimasak kuah bening ditemani sambal terasi, duh nikmatnya tiada terkatakan haha..ketje badai deh rasanya! Ikan ini hasil pancingan seorang Bapak tua di sungai, kemudian beliau menjualnya kepada Ibu warung yang saya singgahi, rasanya pengin beli saja kemudian segera memasak dan buat sambal terasi, sayang sedang bertugas Buuu...




Rumah Betang Modern
Menurut Abang driver, jika hendak melihat rumah betang yang asli sli, ya harus masuk kampung, nah yang berada di pinggiran jalan besar sekarang ini adalah rumah betang modern. Modernnya adalah sudah berdinding semen, bukan kayu, meskipun lantai masih berasal dari kayu, dan menurut saya penampakannya seperti ruko, walaupun bentuknya masih membentang (memanjang).



Jembatan Kayu Belian
One last one, ketika terpandang jembatan ini, saya langsung heboh meminta Abang driver untuk berhenti, padahal saat itu siang terik dengan sinar matahari yang jreng dan udara panas sekali, Abang driver sudah protes saja, but I dont care hehe..tapi tak surut langkah untuk menuju jembatan ini, dan jeprat jepret pun terlaksana. Jembatan ini kokoh, terbuat dari kayu belian semua,  saya lupa bertanya kepada Abang driver daerah mana letak jembatan ini dan riwayatnya juga, pokoknya begitulah penampakannya ya.. J




Demikian...sekilas cerita selama berada di Putussibau, belum puas, pasti, belum menjejakkan kaki ke Danau Sentarum, belum ke perbatasan Badau, masih penasaran dengan Kecamatan Puring Kencana yang katanya.. “aduhai” hoho..., belum melihat rumah Betang yang asli konon berusia banyak tahun.

“Ya Allah, titip mimpi ini, supaya bisa terwujud , entah kapan, entah bagaimana...hanya Engkau yang Maha Mengetahui, Aamiin”. J




Tidak ada komentar:

Posting Komentar