Saya begitu
bersemangat mendapatkan kesempatan untuk berkunjung ke kabupaten ini, sudah
lama sekali ingin kesini, tapi..karena jarak yang jauh dan tidak ada alasan
untuk berkunjung, jadi ya..hanya sebatas keinginan. Alhamdulillah, Allah tidak
pernah tidur kan? Gusti Allah mboten sare,
kata temen-temen yang berbahasa Jawa, dapatlah kesempatan itu pada akhirnya.
Bersemangatlah saya, seperti semangat akan ikut demo masa reformasi ’98 hehe
*euy lamanya pun itu..ya iyalah, ngaku kalo angkatan generasi gemilang taon ‘98an, pemudi masa depan negara, yesss! :D
Perbuatan
pertama yang saya lakukan, adalah mencari informasi terkini tentang daerah
Kapuas Hulu, walaupun saya terlahir di propinsi Kalimantan Barat, masih dalam satu
propinsi, tapi karena letaknya yang jauh pake
banget antara kabupaten dengan ibukota Kalimantan Barat, saya lahir dan
besar di kota Pontianak, info seputar Kapuas Hulu hanya didapat dari mulut ke
mulut... secara manual dan tradisional begitu. Nah, hasil perbuatan saya
mencari informasi, begini nih...
Kabupaten
Kapuas Hulu
Ibu kota
kabupaten ini terletak di Putussibau, dapat ditempuh lewat transportasi sungai
Kapuas sejauh 846 km, lewat jalan darat sejauh 814 km dan lewat udara ditempuh
dengan pesawat berbadan kecil dari Pontianak melalui Bandar
Udara Pangsuma.
Memiliki luas wilayah 29.842 km² dan berpenduduk 222.160 Hasil Sensus Penduduk
Tahun 2010.
Potensi
daerah
Hasil
hutan di wilayah Kesatuan Pemangku Hutan Putussibau dan
Semitau jadi andalan utama roda perekonomian Kapuas Hulu. Hasilnya berupa kayu
bulat yang terbagi dalam tiga kelompok, meranti, rimba campuran dan kayu indah.
Di
sektor perikanan, Kapuas Hulu tergolong habitat puluhan jenis ikan hias,
seperti arwana (arowana) dan
ulanguli. Habitat ikan ini hanya ada di dalam Danau Sentarum. Di kawasan lain
seperti kawasan hulu sungai Kapuas, Embaloh, Mendalam dan Sibau dengan hasil
seperti ikan jelawat, semah, toman, tengadak, belida, lais, entokan dan baung
Transportasi
Kabupaten
ini memiliki sebuah lapangan terbang yang terletak di kota Putussibau, yaitu Bandar Udara Pangsuma (Bandara Pangsuma) yang memiliki Panjang
Landasan/Arah/PCN: 1.004 x 23 m / 10-28 / 5 FCZU, tergolong Kelas IV dengan
kemampuan bisa untuk mendarat jenis pesawat DHC-6 serta memiliki Terminal
Domestik seluas 240 m2.
Nah,
baca kondisinya, jadi semangat travelling-nya,
semakin menggebu-gebu, apalagi ditambah liat peta, hummmhhh..tambah mules hehe...
Trus lanjut browsing website Pemerintah Daerah
Kapuas Hulu, lumayan..websitenya update
juga, jempol deh buat PemKab Kapuas Hulu ;)
Ada sejarahnya
juga, sekalian belajar lagi, inget-inget
semasa berseragam merah putih , kayaknya gak
pernah belajar sejarah daerah ini,..jadi terwow-wow bacanya...hmmm
Sejarah Singkat Kapuas Hulu
Masa Penjajahan Belanda
Sekitar tahun
1823, Belanda memasuki wilayah Kapuas Hulu dengan izin dari Kerajaan Selimbau.
Belanda segera melakukan perjanjian dengan Kerajaan Selimbau. Perjanjian
tersebut menegaskan kedaulatan dari Kerajaan Selimbau. Adapun isi dari
perjanjian tersebut, antara lain :
1.
Tiada raja-raja yang lalu di air Hulu Kapuas dai Hulu
Negeri Silat, yang lain dari Raja Selimbau dan Negeri Selimbau itulah yang ada
bernama negeri dan raja yang berkuasa dahulu kala (berdaulat dan diakui).
2.
Tiada raja-raja dan negeri yang lain di air Hulu Kapuas
ada yang menerima kontrak lebih dahulu atau bersamaan dari Sri Paduka Government, melainkan Raja Selimbau
yaitu Pada zaman Pangeran Suma memegang tahta Kerajaan Negeri Selimbau,
sebabnya yang lain tiada memiliki kekuasaan negara yang tiada raja dan kerajaan
kedaulatan.
3.
Pada masa Raja Selimbau menerima kontrak yang pertamanya
dari Sri Paduka Government maka
semuanya yang ada di Air Kapuas takluk di bawahnya di Negeri Selimbau
(tercatat) pada tanggal 15 November 1823 atau 11 Rabiul Awal 1279 Hijriah.
Sebelum adanya
kontrak dengan pemerintah Hindia-Belanda yang berkedudukan di Kota Sintang,
wilayah Hulu Negeri Silat sebagian berada di bawah kekuasaan pemerintah
Hindia-Belanda. Melalui kontrak yang tertuang dalam surat persaksian perang
Raja Negeri Selimbau, maka tidak diragukan bahwa semua wilayah Kapuas Hulu
takluk di bawah kekuasaan Raja Negeri Selimbau.
Pada masa
pemerintahan Sri Paduka Panembahan Haji Gusti Muhammad Abbas Surya Negara,
Kerajaan Selimbau kedatangan seorang utusan Belanda yang seorang Asisten
Residen Sintang bernama Cettersia.
Utusan Belanda tersebut datang dengan maksud meminta izin kepada Raja Selimbau
untuk menebang kayu yang akan digunakan untuk membangun benteng di daerah
Sintang. Keseluruhan hasil kayu tersebut sebanyak 10 % akan dibagikan kepada Raja Negeri Selimbau.
Permohonan izin tersebut pun disetujui.
Dengan mengetahui
banyaknya sumber daya alam yang ada di wilayah Kapuas Hulu, maka pemerintah
Hindia-Belanda terus berupaya menempatkan dan menambah kekuatan militernya di
daerah-daerah dan yang transportasinya lancar. Pemerintah Hindia-Belanda mulai
mengintervensi sistem pemerintahan kerajaan di wilayah Kapuas Hulu melalui
politik “adu domba”. Dengan menjalankan politik “adu domba” dan kekuatan militer,
pemerintah Hindia-Belanda di Kapuas Hulu semakin leluasa menindas rakyat dan
menguras kekayaan alamnya.
Raja Selimbau tidak
mampu mengendalikan pemerintahannya
secara utuh, sebab Belanda selalu mencampuri setiap keputusan yang dibuat oleh
raja. Pada tahun 1925, setelah
Panembahan Haji Gusti Usman mangkat yang
juga menandai berakhirnya kedaulatan Kerajaan Selimbau, pemerintah
Hindia-Belanda dapat menguasai wilayah Kapuas Hulu secara utuh.
Masa Penjajahan Jepang
Jepang masuk ke
wilayah Kapuas Hulu pada tahun 1942 dengan membuka pertambangan batubara di
bagian hulu Sungai Tebaung dan Sungai Mentebah. Pada masa itu, wilayah
Kalimantan Barat dipimpin oleh Abang Oesman, K. Kastuki, dan Honggo. Pada masa awal kedatangannya, Jepang disambut
baik dengan harapan akan membebaskan rakyat dari penjajahan Belanda. Tetapi
pada kenyataannya, Jepang bahkan tidak lebih baik dari Belanda. Jepang
melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam dan manusia
demi kepentingan sepihak. Melihat
ketimpangan ini, banyak rakyat yang melakukan perlawanan terhadap Jepang.
Pada masa
Jepang, seluruh wilayah Kalimantan berada di bawah kekuasaan angkatan laut
Jepang, Borneo Menseibu Coka yang berpusat di Banjarmasin, sedangkan
untuk Kalimantan Barat berstatus “Minseibu Syuu”.
Masa Kemerdekaan
Berdasarkan
Keputusan Gabungan Kerajaan-Kerajaan Borneo Barat pada tanggal 22 Oktober 1946 Nomor 20L, wilayah Kalimantan Barat
terbagi kedalam 12 Swapraja, dan 3 Neo
Swapraja. Wilayah Kapuas Hulu
termasuk salah satu wilayah Neo Swapraja. Dengan dukungan Besluit Luitenant Gouvenur Nomor 8 tanggal 2 Maret 1948 yang berisi
pengakuan Belanda terhadap status Kalimantan Barat sebagai daerah istimewa
dengan pemerintahan sendiri beserta sebuah dewan Kalimantan Barat, maka pada
tahun 1948, melalui Surat Keputusan Nomor 161 tanggal 10 Mei 1948, Presiden
Kalimantan Barat membentuk suatu ikatan federasi dengan nama Daerah Istemewa
Kalimantan Barat (DIKB).
Dengan adanya
tuntutan rakyat , maka DIKB yang dipandang sebagai peninggalan pemerintah
Belanda, dihapuskan. Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS), daerah
Kalimantan Barat berstatus sebagai daerah bagian yang terdiri dari Daya
Besar, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Banjar. Setelah bergabung
menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Darurat No. 3 Tahun 1953, dibentuklah Pemerintahan
Administrasi Kabupaten Kapuas Hulu dengan ibukota Putussibau.
Bupati pertama
yang menjabat adalah J.C. Oevang Oeray (1951-1955), selanjutnya diteruskan oleh
Anang Adrak (1955 – 1956)
Menarik membaca
sejarahnya, walaupun singkat saja, terbayang dahulu kala belantara hutan Kapuas
Hulu yang disesaki dengan pohon-pohon berukuran besar, pohon-pohon kualitas numero uno, mulai dari kayu belian,
meranti, belum rotannya, pantesan Belanda ngeces
setelah ngerti kekayaan daerah ini...hufttt, etapi..gak pernah dengar ada
Kerajaan Selimbau itu, trus setelah di TKP pun tak ada penduduk setempat yang
cerita tentang keraton atau istana, atau jejak-jejak kerajaan ini, malah
dengarnya tentang Rumah Betang yang berusai ratusan tahun, kemudian terbakar,
sedih ya..peninggalan sejarah bernasib begitu, Oklah kita lanjutkeun ke masa kekinian....
Perjalanan ini...
Dimulai dari
Pulau Jawa ke Pulau Kalimantan, landing di
Bandara Supadio Pontianak yang mulai kelihatan keren, dan setara dengan
bandara-bandara di kota besar lainnya, lumayan
daripada yang dulu, euhhh tak tega menuliskannya :D. Kemudian keesokan harinya,
penerbangan pagi menggunakan Garuda Indonesia yang kecil imut-imut, tapi keren
berani landing di Kapuas Hulu, baru
tau sih.., sebelumnya rute perjalanan ini dilayani maskapai Kalstar.
Cuaca
mendukung untuk penerbangan dengan perasaan yang ngeri-ngeri sedap, semakin mendekat tujuan, mata tak lepas dari
kaca jendela pesawat untuk terus mengamati wilayah Kapuas Hulu dari ketinggian.
Tampak Sungai Kapuas dengan airnya yang berwarna kecoklatan meliuk-liuk seperti
ular naga cap go meh yang menari-nari, seperti gemulainya liukan ikan Arwana,
sungguh memikat, belum lagi hamparan hutan yang menghijau, layaknya seperti
permadani saja. Sungguh berbeda saat pesawat akan mendarat di wilayah Jakarta-Banten,
Yogya, Solo, Surabaya, Bali...yang terpandang adalah hutan beton :D
Ada Kisah Tercipta di sini...
Setibanya di
TKP, dijemput oleh mobil rental yang sudah dipesan sebelumnya menuju Hotel yang
juga sudah dibooking. Hotel terletak
di tengah kota dengan maksud agar mudah untuk mobilitas, selain itu juga, hotel
ini direkomendasikan oleh berbagai pihak , Hotel Sanjaya, I think the best hotel in this district ;). Yah not bad lah, fasilitas kamar : kamar
mandi dalam, air bersih, TV, tempat tidur spring bed, AC (ini penting sekali)
tapiii..sayangnya posisi AC pas banget di atas tempat tidur dan atas kepala. Kamar
hotel cukup luas jika ditempati seorang diri, setiap hari dibersihkan, wifi
gratis di area loby, disediakan breakfast
untuk setiap harinya, dengan menu roti beserta selainya, dan nasi dengan menu
sederhana, serta teh dan kopi, siap sekitar jam 7. Hotel ini cukup ramai dengan
tamu-tamu dari berbagai wilayah, saat itu nampak ada dari Dinas Kesehatan, dan
beberapa tamu perusahaan-perusahaan.
Saya diberikan
kamar di lantai 2 dari bangunan baru paling ujung dari keseluruh bangunan
hotel, pertama masuk kamar, saya merasa tidak masalah dan malah merasa di luar
bayangan selama ini tentang kondisi kamar hotel, walaupun memang ada perasaan
aneh saat pertama memasuki kamar, namun saya abaikan perasaan aneh tersebut.
Memasuki senja,
terdengar suara adzan Magrib, kebetulan saya sudah berwudhu, bersiap untuk
segera menunaikan shalat, saya lihat langit bermendung tebal, seolah akan
meruntuhkan air hujan yang banyak. Takbir shalat pun saya lakukan, namun terhenti
karena tiba-tiba saya mendengar ketukan sebanyak 3 kali dari jendela kamar.
Segera saya batalkan shalat, dan melihat ke jendela, ketukan apa tadi, apakah
jendela tak terkunci dan tertiup angin sehingga menimbulkan suara ketukan? Tapi
saya tak merasa membuka jendela, apakah
ada burung yang mematuk-matuk jendela? Apakah ada tukang yang
membetulkan jendela atau bagian bangunan lain? Atau ada anak-anak yang bermain
panjat-panjatan?
Pertanyaan-pertanyaan
itu yang ada di kepala saya, setelah saya periksa...nothing! Tak ada apa-apa, lagi pula bangunan ini langsung tembok,
tidak ada terasnya, jadi bagaimana mungkin ada yang memanjat, dan hari sudah
gelap, tidak mungkin juga masih ada tukang bekerja atau anak-anak yang bermain,
aneh...begitu pikir saya. Tak lama, angin kencang beserta hujan deras, petir
pun mengiringi, listrik mati, horor sekali ya...seakan-akan saya mendramatisir
keadaan ahayy, padahal itulah keadaan yang sesungguhnya. Saya sempat merasa
sangat takut saat listrik mati, khawatir akan ada yang suara ketukkan lagi, dan
muncul boneka chuky, oh my ... hehehe...
huhuhu, aseli takut saat itu. Tak lama listrik menyala, karena hotel punya
jenset.
Keesokannya,
disambut pagi yang cerah, saya bertemu dengan Abang driver rental, setelah
bercakap-cakap beberapa topik, Abang driver bercerita bahwa sering tamu-tamu
diganggu oleh makhluk-makhluk halus penghuni hotel, terutama di kamar yang saya
tempati, oh noooo ... saya langsung
ingat dengan ketukan tadi malam, saya cerita kepada Abang ini.
Selanjutnya,
malam kedua, aman, malam ketiga dengan waktu yang hampir sama dengan malam
pertama, yaitu saat akan shalat maghrib, suara ketukan itu ada lagi, oh ya
Allah, nakal sekali mereka ya... saya pun mengeraskan bacaan shalat saya
hehe...malam keempat aman, haduh tapi tetap saja , saya tak bisa tidur nyenyak
selama disini, khawatir saat saya tidur nyenyak kemudian diseret dan
dilemparkan ke Danau Sentarum ... Alhamdulillah tidak terjadi J.
Temuan-Temuan Menarik
Saya menemukan
beberapa hal yang menurut saya sangat menarik selama disini, mari discroll down... J
Teras Sekolah
It’s so amazing, lantai teras sekolah ini semua
dari kayu, yes ...kayu belian!
Kenangan saya kembali ke zaman SD, saat itu sekolah saya mirip seperti ini, teras
kayu dan beraroma minyak tanah untuk mengepel lantainya, supaya awet dan
mengkilat. Oh so sweet kan ya.. tak
pernah saya temukan sekolah-sekolah di Jawa yang berlantai kayu, hampir semua
berkeramik.
Bangku Kayu
Ini pun bikin
saya surprise dan menjerit ketika
melihatnya hehe...bukannya ndeso atau
sepok (norak-bahasa Pontianak), tapi
bangku ini benar-benar langka dan antik, sudah lama sekali tak melihat
penampakannya, dan saya menjumpainya di kantor Dinas Pendidikan, berjejer rapi,
duhhh..dilestarikan ya Bapak Ibu J
Ikan Baung Besar
Ini ikan
sebangsa Lele jika di Jawa, bedanya ikan Baung ini tumbuh kembang di Sungai,
rasa dagingnya..amboi, kalau dimasak kuah bening ditemani sambal terasi, duh
nikmatnya tiada terkatakan haha..ketje
badai deh rasanya! Ikan ini hasil pancingan seorang Bapak tua di sungai, kemudian
beliau menjualnya kepada Ibu warung yang saya singgahi, rasanya pengin beli
saja kemudian segera memasak dan buat sambal terasi, sayang sedang bertugas
Buuu...
Rumah Betang Modern
Menurut Abang
driver, jika hendak melihat rumah betang yang asli sli, ya harus masuk kampung,
nah yang berada di pinggiran jalan besar sekarang ini adalah rumah betang
modern. Modernnya adalah sudah berdinding semen, bukan kayu, meskipun lantai
masih berasal dari kayu, dan menurut saya penampakannya seperti ruko, walaupun
bentuknya masih membentang (memanjang).
Jembatan Kayu Belian
One last one, ketika terpandang jembatan ini, saya
langsung heboh meminta Abang driver untuk berhenti, padahal saat itu siang
terik dengan sinar matahari yang jreng dan udara panas sekali, Abang driver
sudah protes saja, but I dont care
hehe..tapi tak surut langkah untuk menuju jembatan ini, dan jeprat jepret pun
terlaksana. Jembatan ini kokoh, terbuat dari kayu belian semua, saya lupa bertanya kepada Abang driver daerah
mana letak jembatan ini dan riwayatnya juga, pokoknya begitulah penampakannya
ya.. J
Demikian...sekilas
cerita selama berada di Putussibau, belum puas, pasti, belum menjejakkan kaki
ke Danau Sentarum, belum ke perbatasan Badau, masih penasaran dengan Kecamatan
Puring Kencana yang katanya.. “aduhai”
hoho..., belum melihat rumah Betang yang asli konon berusia banyak tahun.
“Ya Allah, titip
mimpi ini, supaya bisa terwujud , entah kapan, entah bagaimana...hanya Engkau
yang Maha Mengetahui, Aamiin”. J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar