Selasa, 26 November 2019

DEMI WAKTU


"The cell phone has become the adult's transitional objects, replacing the toddler's teddy bear for comfort and  a sense of belonging."  - Margaret Heffernan -

Latar Belakang:

  • Saya mengamati mantan Bos saya yang selalu membalas text whatsapp saya pada jam-jam tertentu saja. Berulangkali seperti itu, saya tidak menanyakan kepadanya kenapa seperti itu, saya berkesimpulan beliau memiliki semacam jadwal untuk me-reply teks, karena memang orangnya sangat disiplin terhadap penggunaan waktu, semua terukur, tidak seperti saya, kapan pun available, kapan pun online, kapan pun nge-reply! L
  • Saya membaca suatu postingan di twitter yang menyatakan bahwa :
“IMAGINE THEY DELETE INSTAGRAM AND BOOM! 
YOU’RE NOT A MODEL ANYMORE.”
         Ya, apa yang terjadi jika Mark Zuckerberg dengan berbagai alasan menutup Facebook dan                   Instagram? Bagaimana reaksi kalian? Hidup kalian menjadi sepi, gak bisa posting poto selfie,             poto anak dari bayik sampe wisuda TPA, poto liburan, poto makan-makan, apapun itu .. J
  • Secara tidak disengaja pula, saya membaca kalimat ini di suatu tulisan online, saya lupa sumbernya, tapi kurang lebih seperti berikut ini :

“We’re all spending too much time on our smartphone. And that time spent mindlessly scrolling through twitter, watching random videos on YouTube and playing addictive mobile games could be put too much better use”.
  • Saya generasi awal pengguna media social yaitu Facebook, sebelumnya Yahoo Messenger,  ya sudah lama sekali, dan rasanya mulai dihinggapi rasa bosan dibandingkan dengan yang baru 3 tahunan mulai bergabung dan masih semangat saja untuk posting segala hal di kehidupannya.
  • Saat ini, saya tidak memiliki urgensi menggunakan handphone dan media social sebagai sarana bekerja secara professional.
  • Saya ingin lebih produktif menggunakan waktu.

Jadi, berangkat dari keresahan pribadi dan kepentingan dalam menggunakan handphone, maka saya memutuskan untuk menggunakan handphone dan bersosial media secara bijaksana, sehingga waktu saya akan saya manfaatkan untuk hal-hal lain yang bermanfaat dan produktif, seperti merajut, merenda kasih sayang, memperbanyak amal ibadah, mengembangkan hobi, membaca buku, etc.

Bagaimana Bijaksananya Saya?

Saya harus menahan keinginan saya untuk selalu membuka aplikasi-aplikasi di handphone, terutama sosial media. Caranya ? Yaitu dengan mengaturnya. Saya mengunduh aplikasi yang tersedia di Play Store tentang screen time atau Digital Wellbeing Experiments dari Google, bisa dicheck pada link berikut : https://experiments.withgoogle.com/collection/digitalwellbeing

Bagaimana Proses dan Dampaknya?

  • Saya memberikan batasan waktu untuk saya dalam berhandphone berikut mengecek aplikasi social media dalam 1 hari adalah 3 jam, kecuali pada weekend, saya memberi bonus menjadi 6 jam per hari. Bonus sebagai apresiasi kepada diri sendiri karena sudah dapat mengalahkan keinginan kurang berfaedah tersebut J
  • Dua hari pertama terasa sangat berat, tidak mudah bagi saya untuk menahan keinginan tersebut, karena saya begitu lincah dan aktif dalam berselancar di social media, mungkin begini rasanya perokok yang ingin berhenti merokok. Betul banget bahwa handphone ini menjadi candu (addict) bagi pemiliknya, sedih ya L
  • Dua hari pertama yang berat, namun saya bisa dengan tidak melebihi batasan waktu yang telah saya buat, sama halnya juga pada weekend, saya tidak menggunakan full waktu 6 jam untuk berhandphone dan social media.
  • Pikiran menjadi lebih tenang, saya tidak perlu risau terhadap reply comment yang diberikan, tidak kepo terhadap postingan si A sampai Z!
  • Saya bisa lebih cepat dan focus membaca dan menyelesaikan buku bacaan yang selama ini mangkrak berdebu di pojokan rak.
  • Progress penggunaan handphone dengan aplikasi screen time:


Photo 1

Photo 2
Pada photo 1 dan 2 aplikasi, terlihat bahwa pada suatu hari saya menggunakan Facebook lebih sering daripada lainnya, sedangkan hari lainnya, saya lebih lama menggunakan twitter. Aplikasi merekap pula penggunaan handphone selama 7 hari :



Evaluasi Proses:

Setelah 4 hari kebijaksaan ala saya diterapkan, maka evaluasi dan pembelajarannya yang dapat saya ambil adalah :
  • Saya mengalokasikan waktu untuk merespon berbagai pesan text selama 3 kali dalam 1 hari, yaitu pada jam 7, jam 12, dan jam 4 sore. Kondisi ini akan saya evaluasi kembali jika diperlukan.
  • Saya akan memberi pengecualian penggunaan handphone yang terkoneksi internet untuk mengecek email penting dan membaca suatu informasi pada website untuk memperdalam pengetahuan pada tema yang saya ingin ketahui.
  • Batasan waktu tidak berlaku jika saya melakukan edit photo atau video ... *cheating! J 


Kesimpulan

  • Saya berharap dari batasan 3 jam ini dapat semakin berkurang dari waktu ke waktu, sesedikit waktu yang digunakan, maka menjadi lebih baik!
  • Saya berharap pula, kebijaksanaan ala saya ini menjadi habit baik bagi pribadi saya, sehingga saya akan lebih focus melakukan hal-hal lainnya.
  • Saya menanamkan dalam pikiran saya, mungkin terlalu ekstrim bahwa tidak terlalu penting untuk mengetahui segala hal yang sedang terjadi, dan tidak perlu membuktikan eksistensi diri dalam social media, alih-alih malah mempublikasikan kehidupan pribadi.
  • Awalnya memang SULIT! Tapi setelah diujicobakan, ternyata saya BISA!

What’s next?

Saya akan mencoba membatasi penggunaan Facebook, mungkin hanya 1 minggu sekali online yang selama ini masih setiap hari.
   
“If you can’t measure it, you can’t change it!” - Peter Drucker

Kamis, 21 November 2019

Bermula dari Mindset (Part-1)


Kita semua memiliki mindset atau pola pikir, namun tidak semua orang bermindset sama. Mengapa bisa terjadi perbedaan mindset? Ya karena manusia berpikir, bertindak, dan menjalani hidup secara berbeda, dengan latar belakang kehidupan yang bermacam-macam pula, pengalaman, pelatihan, atau cara belajar[1]. Terdapat jenis-jenis mindset, yaitu fixed mindset dan growth mindset.    
  •       Fixed mindset atau pola pikir tetap/kaku : menganggap sesuatu yang terjadi tidak dapat diubah, cenderung pesimis, negative, kualitas diri sudah ada sejak dilahirkan, tidak bisa berkembang.
  •      Growth mindset atau pola pikir berkembang : menganggap sesuatu yang terjadi secara optimis, positif, kualitas diri dapat diolah, dilatih sehingga dari tidak bisa menjadi bisa.  



Keterkaitan Mindset dengan Proses Belajar


Proses belajar tidak hanya berlaku bagi anak-anak yang usia PAUD sampai tingkat sekolah menengah atas saja, namun berlaku pula bagi orang dewasa, karena belajar akan terus terjadi sampai akhir hayat manusia. Oleh sebab itu, peranan mindset sangat penting dalam proses ini.

Berikut contoh sketsa singkat yang mendeskripsikan keterkaitan fixed mindset vs growth mindset ini:
  •      Pak Joko sebagai seorang guru Bahasa Inggris kelas 8 di suatu SMP menganggap Santoso salah satu siswanya, tidak akan mahir berbahasa Inggris sampai kapanpun juga, karena nilai-nilai ujiannya selalu buruk, selain itu Santoso tidak pernah menunjukkan minatnya dalam berbahasa Inggris.
  •       Santoso seorang siswa yang memiliki tipe pembelajar aktif, dia sangat menikmati pembelajaran yang menuntut praktek daripada hanya mendengar penjelasan dan kemudian mencatatnya di buku tulis. Santoso juga senang dengan pembelajaran yang menggunakan media seperti video atau buku bacaaan karena jam pelajaran menjadi tidak membosankan.
  •       Pak Joko memasuki masa purna tugas (pensiun) sebagai guru, beliau digantikan oleh Ibu Susi untuk mengajar Bahasa Inggris.
  •      Ibu Susi mengajar Bahasa Inggris dengan menggunakan berbagai media, seperti video dari yang diunduh dari youtube untuk melatih skill conversation dan menambah vocabulary siswa. Untuk melatih kemampuan listening, Ibu Susi menggunakan tape recorder. Siswa diminta untuk berlatih dengan mencari vocabulary sesuai dengan tema pembelajaran.
  •       Santoso menjadi bersemangat untuk belajar Bahasa Inggris. Pada ujian semester, Santoso mendapatkan nilai yang lebih baik serta aspek kemampuan berbahasa Inggris lainnya memiliki kemajuan daripada sebelumnya, begitu pula teman-temannya yang lain.
  •      Ibu Susi memberikan apresiasi berdasarkan peningkatan yang siswanya raih. Ibu Susi mengapresiasi proses yang para siswa lakukan untuk mendapatkan hasil belajar yang lebih baik.
  •      Santoso menjadi lebih baik kualitas belajarnya, tidak hanya Bahasa Inggris tapi mata pelajaran lainnya pula. Santoso menyimpulkan bahwa pernyataan Pak Joko yang menganggap dirinya tidak akan berhasil adalah keliru, dan Santoso berpikir bahwa segala sesuatu dapat menjadi baik jika dia berusaha, berlatih, dan tak henti untuk belajar.

Mari kita kupas detail dibalik contoh tersebut:
  •          Pak Joko, seorang guru yang memiliki pola pikir tetap/kaku (fixed mindset).Menurutnya, Santoso sudah tak bisa berubah menjadi lebih baik. Baginya siswa harus mendengarkan penjelasannya dan mencatatnya secara rapi di buku tulis masing-masing, sehingga saat ujian tiba mereka bisa mempelajarinya secara baik.
  •        Ibu Susi, seorang guru yang memiliki pola pikir berkembang (growth mindset). Menurutnya setiap siswa tidak sama dalam belajar, ada yang menyukai metode ceramah, ada yang menyukai menonton video, ada pula yang menyenangi praktek. Oleh karena itu, Ibu Susi mempraktekkan berbagai metode dalam kegiatan mengajarnya agar dapat mengakomodasi berbagai tipe pembelajar siswa.
  •        Santoso adalah seorang siswa yang perlu bantuan orang dewasa dalam hal ini adalah guru untuk menggali potensinya, dan memfasilitasi potensinya tersebut supaya terbentuk menjadi lebih baik untuk mencapai hasil maksimal.


     Mengembangkan Mindset
Dalam bukunya berjudul Mindset, Carol S. Dweck menyarankan bagi para guru untuk selalu memberikan umpan balik  tentang proses belajar yang siswa lakukan, sehingga siswa mengetahui berada pada level yang mana kemampuannya, apa saja yang harus ditingkatkannya ke depan, sehingga guru tidak perlu menurunkan standar pelajarannya agar nilai (kualitas) siswa meningkat,  karena percuma juga jika guru meningkatkan standar pengajarannya tanpa memberikan siswa tentang cara untuk mencapainya, itu pun tidak akan meningkatkan nilai (kualitasnya) secara signifikan .
Menjadi ideal jika guru yang memiliki mindset berkembang dengan :
  •       Memberikan pengajaran yang berkualitas tinggi dan memberikan cara – informasi kepada siswa untuk meraih kualitasnya.
  •       Memberikan pujian,  motivasi dan semangat kepada siswa yang berfokus pada proses yang dilakukan, atau strategi belajar yang digunakan, usaha yang dijalankan, atau pilihan yang siswa ambil. Sehingga pujian atau motivasi yang diberikan lebih konkrit diterima oleh siswa.
  •      Menyampaikan kritik membangun sebagai umpan balik proses belajar yang telah dilakukan oleh siswa, sehingga dapat membantu siswa memahami cara menyelesaikan problem yang dihadapi.    

Change can be tough but I've never heard anybody say it wasn't worth it. 

(Carol S. Dweck)





[1] Dweck, Carol S., Mindset, Yogyakarta:  Penerbit BACA, 2017