Senin, 27 Juli 2015

Pelopor Active Learning – Belajar Sejarah- Muhammad Natsir

Pada suatu hari, penulis ingin membaca koleksi buku-buku lama, pilihan tangan menyentuh suatu buku tua, yaitu “ Muhammad Natsir – 70 tahun, Kenang-Kenangan Kehidupan dan Perjuangan”, Penerbit Pustaka Antara Jakarta, Cetakan pertama tahun 1978. Umur buku ini hampir sama dengan umur penulis (uhuk :D). Jujur, penulis kagum dengan kisah hidup Pak Natsir yang pemikiran, perjuangannya, kesederhanaan, keteguhan prinsipnya  sangat menginspirasi, tapi untuk membaca buku ini secara perlahan dan detail belum nemu waktunya, nah...sepertinya sekarang adalah waktu yang tepat untuk menuliskannya...#hloh?

Penulis hanya akan menulis sedikiittt dari bagian buku ini, ya..selain untuk pembelajaran bagi penulis sendiri, juga bagian ini mencuri hati penulis...bikin my heart melted gituh ^_^, yaitu mengenai upaya pendidikan dalam rangka mencerdaskan anak bangsa yang dirintis oleh Pak Natsir, dan membayangkan saat itu, saat zaman Pak Natsir sekitar tahun 1930-an daaannnn...saat ini, let’s say 2000-an deh!

Allright, let’s start from kisah kegalauan salah satu Bapak bangsa kita... baca Bismillah dulu yukkks ;)

Mulai dari Bapak Natsir yang dilanda galau karena teramat sering menjumpai persoalan agama versus politik.  Masa itu, gerakan kebangsaan yang dipelopori Soekarno dan teman-temannya mengandung bibit-bibit kebencian dan memandang enteng kepada Islam. Meskipun menentang penjajahan,  tidak hanya partai PNI dengan Soekarno saja, terdapat partai lain, yaitu PSII yang lebih tua 15 tahun umurnya dari PNI – pimpinan Haji Agus Salim dan Haji Umar Said Cokroaminoto. Kemudian Natsir bergabung ke dalam PSII secara totalitas untuk melawan partai politik yang tidak berdasarkan cita-cita Islam, malah memaki-maki Islam.  Pada masa ini, lahirlah tulisan Natsir  tentang Islam dan kebangsaan melalui majalah “Pembela Islam” ataupun buku-buku yang ditulisnya dalam bahasa Belanda. Kebayang ya...begitu sesak “suasana kebatinan” Pak Natsir pada saat ini. Kalau sudah ada medsos, sepertinya Pak Natsir akan memiliki banyak followers :D

Dari keadaan tersebut, Pak Natsir menyimpulkan bahwa mengapa ada kelompok-kelompok  yang mengejek dan menentang Islam? Jawabannya karena pendidikan mereka sedari kecil, dan pergaulan mereka dalam masyarakat yang kebarat-baratan (sekarang juga gitu sih Pak...tulisan ini juga kebarat-baratan hehe). Sehingga Natsir berpikir, yang sudah tua, biarlah begitu, yang penting adalah generasi yang seumuran dengannya dan generasi yang akan datang agar tidak  begitu “buta” lagi selaku ummat Islam dan yang mengaku jadi ummat Islam. Zaman itu belum terlalu banyak sumber-sumber ilmu dan bacaan tentang agama, sedangkan sekarang? Tak ada alasan illiterate agama, asal ada kemauan saja untuk mempelajari agama yang diyakininya agar menjadi insan yang lebih baik, where there’s a will, there’s smith, oups!! Sorry there’s a way ;)

Dengan pemikiran tersebut, Pak Natsir berhasrat MENGUBAH sistem pendidikan dan pengajaran.  Melihat hasil pendidikan dari Pesantren dan Madrasah yang meluluskan siswa-siswa yang mengerti agama, namun buta akan perkembangan dunia, padahal Islam mendorong  kepada kemajuan dunia dan akhirat kan? Sedangkan pendidikan ala Barat yang diberikan oleh penjajahan Belanda saat itu, hanya mengisi otak saja, jiwanya kosong! Nah...ada kepincangan dari kedua sistem pendidikan tersebut. Setelah melalui proses perenungan dan diskusi panjang bersama teman-teman seperjuangannya, diambil keputusan untuk mendirikan suatu Taman Pendidikan Islam yang diperuntukkan untuk putera-puteri Islam.

Tercetuslah suatu sistem pendidikan sebagai penggabungan dari sistem pendidikan yang telah ada, yaitu sistem “Pendidikan Islam”  (Pendis) yang ringkasnya  bertujuan membentuk manusia yang seimbang. Seimbang kecerdasan otaknya dengan keimanannya kepada Allah dan Rasul. Seimbang ketajaman akalnya dan kemahiran tangannya untuk bekerja. Manusia yang percaya kepada kekuatan sendiri, bisa berdiri sendiri (selfhelp), dan tidak selalu bergantung kepada harga ijazah untuk makan gaji sebagai pegawai. “Manusia seimbang” ini dalam tulisan-tulisan Pak Natsir seringkali disebut dengan “ummatan wasathan”, umat yang berkeseimbangan. Berkeseimbangan  “dunia dan akhirat”, ummat yang menjadi pelopor, perintis jalan bagi manusia lainnya, serta menurutkan tuntunan serta langkah-langkah Rasulullah sebagai pelopornya.

Begitulah latar belakang terbentuknya sistem Pendidikan Islam yang hingga kini digunakan oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia.

Adapun praktek belajar-mengajar sistem Pendis-nya Pak Natsir ini menarik pemikiran penulis. Walaupun di buku ini tidak tertulis secara detail seperti modul-modul pelatihan untuk guru, tapi cukup memberikan gambaran besar untuk penulis sebagai gambaran yang keren.  Mengapa menarik? Mungkin sekitar 20-an tahunan kebelakang, kita (dunia pendidikan di Indonesia) sibuk membicarakan tentang pembelajaran siswa aktif yang menyenangkan (active and joyful learning), kurikulum KTSP sampe K13, pendidikan karakter, dst...dst... but..look, Pak Natsir sudah melakukannya  masbro dan mbakbro.. tahun 1932! (akyu juga baru ngeh hehehe-nya nyengir). 

Begini nih jalan ceritanya...

Apa-apa yang disampaikan di sekolah pemerintah Belanda, oleh Pendis juga diberikan, karena memang tujuannya kan begitu (baca lagi di bagian tulisan sebelumnya). Tapi dengan cara yang berbeda.  Pak Natsir tidak ingin menghabiskan waktu terlalu banyak bagi siswa untuk menghafal. Siswa harus lebih aktif, tidak passif menampung infromasi dari guru seperti beo! (Nah tuh kan, sistem pendidikan zaman orba sampe sekarang mengalami kemunduran rasanya, wong zaman Pak Natsir aja pelaksanaannya udah begini?).

Pendidikan agama diberikan sebagai mata pelajaran WAJIB! Setiap hari Jum’at dilakukan bersama-sama di gedung sekolah, terkadang yang menjadi khatib adalah murid kelas tertinggi di level Kweekschool (sebagai latihan public speaking, bagian dari life skills, dan kaderisasi khatib).

Diberikan pelajaran kerajinan tangan mulai dari kelas rendah sampai kelas tertinggi. Bagi siswa MULO dan Kweekschool seminggu sekali diberikan pelajaran berkebun di lahan satu hektar di wilayah Ciateul (praktek langsung cangkul-mencangkul dan tanam-menanam sepertinya, gak pake polybag :D )

Yang ini juga menarik... ada piano (jadi ingat Bang Haji :D). Nah piano dimainkan untuk mengiringi pelajaran menyanyi..tahun 1932 loh ya, ingat! Lagu-lagunya dikarang sendiri oleh guru menyanyi, bukan lagu unduhan :D, jadi lagu-lagunya tetap fresh, gak bosenin, nyanyiannya gak itu-itu aja! Siswa yang kelas tinggi juga diminta untuk mengarang lagu-lagu yang nanti akan diajarkan kepada adik-adik kelasnya. (Sebagai penyaluran bakat seni yang dimiliki siswa).

Setiap sekali dalam setahun diadakah malam “ibu-bapa”, semacam Pensi (Pentas Seni). Ada showcase dari siswa, seperti sandiwara, musik, dan tari-tarian. Pameran hasil kerajinan tangan siswa, yang kemudian dibeli oleh para orangtua. Pensi sekolah ini menjadi terkenal seantero kota Bandung karena bagus mutunya, setimpal dengan proses yang mereka jalani, yaitu latihan keras selama berbulan-bulan. Dari PROSES latihan tersebut terdapat pelajaran yang berharga bagi siswa dan guru-guru. Bagi guru, mereka lebih mengenal watak siswa-siswanya, sedangkan bagi siswa melatih membangun rasa percaya diri, mengikis “rasa kecil” dan tampil berani, bangga sebagai seorang Muslim dan Muslimah yang berkualitas!  

Selama 10 tahun berdiri (1932-1942) yang kemudian terpaksa ditutup pada masa penjajahan Jepang, Pendis telah menghasilkan lulusan yang tidak mengecewakan. Para alumnus terjun ke masyarakat. Mereka tidak mementingkan hendak menjadi pegawai negeri  seperti keluaran sekolah-sekolah  sederajat lainnya. Kalau mereka menjadi guru, mereka bekerja di sekolah partikelir (swasta) seperti Muhammadiyah. Bahkan ada yang berinisiatif mendirikan HIS “Pendis” di wilayah lain, seperti : Bogor, Cirebon, Jatinegara, Tanjung Priok, Pulau Bangka dan, Kalimantan. Ada pula pada zaman revolusi RI yang menjadi tentara bertempur memimpin pasukan. Ada yang menjadi  direktur SMP Pemerintah RI. Ada yang menjadi pegawai menengah di Jawatan Pendidikan Agama, dan ada yang menjadi anggota konstituante yang aktif. (Keren!)

Pandangan Pak Natsir yang menurut penulis, yaa... penulis banget :D
“Pak Natsir senantiasa lebih menghargakan kebebasan jiwa daripada kemewahan hidup. Sifat –sifat itu harus dipupuk dan dihidup-suburkan. Karena, seseorang tidak akan merasa gentar dan gamang menghadapai hari depan. Percaya akan kekuatan diri dan akan lindungan Ilahi yang pengasih lagi penyayang”.

Sekian – Wassalam

============***********=============

Senin, 20 Juli 2015

Angpou dari Pendeta Budha

Pada suatu pagi yang cerah masih dalam perayaan imlek, sekitar jam 10-an, saya sedang menyapu teras rumah sambil mendendangkan lagu di puncak bukit hijau-nya Iis Sugianto, kemudian saya dikejutkan suara sapaan lembut seorang Bapak tua, sebelum menjawab sapaan selamat paginya, saya tertegun menatap sosok Bapak ini yang berpakaian  dan berpenampilan putih, bersih, sederhana, dan menebarkan aroma khas ala orangtua yang wangi, saya terkesan untuk pandangan pertama.  Kemudian beliau menanyakan keberadaan Abah saya di rumah. Saya pun mempersilahkan beliau untuk masuk dan duduk serta memanggilkan Abah. Berikutnya saya diberitahukan oleh Abah, bahwa tamunya kali ini adalah seorang Pendeta Budha.

Tak lama  kemudian Abah menemui tamunya, saya pun mendapatkan intruksi dari Ibunda untuk mengantarkan  minuman dan hidangan sekedarnya. Selepas itu mereka mengobrol dengan penuh keakraban, mendengar suara Bapak Pendeta yang lembut , bersahutan dengan suara Abah saya. Sungguh harmonis hubungan pertemanan mereka. Sekitar 30 menit obrolan santai bergulir, minuman dan makanan kecil sudah dirasai, Bapak Pendeta Budha pamit undur diri, dan memanggil saya, beliau mendekati saya dan memberikan amplop merah, dengan mengucapkan kata-kata bijak, sekali lagi dengan penuh kelembutan!  Saya terkejut dengan pemberian beliau, amplop merah! Saya pun mengucapkan terima kasih, beserta Abah, saya melepas kepergian beliau sampai hilang pandangan punggungnya dari tatapan mata.

Saya membuka amplop merah tadi, dan isinya selembar uang  baru Rp. 5000,- (nominal yang besar pada saat itu). Saya simpan amplop tersebut selama bertahun-tahun, hingga saya teringat kembali dengan kesibukan angpou-mengangpou saat Hari Raya Idul Fitri kali ini. Saya teringat sosok Bapak Pendeta Budha yang baik dan lembut hati ini, saya teringat bahwa masa kecil saya tak begitu akrab dengan istilah angpou, saya teringat bahwa masa kecil saya tak terlalu paham dengan nilai uang, saya teringat bahwa toleransi antar umat beragama itu sudah ada sejak saya kecil dan sejak sebelum saya dilahirkan, saya teringat bahwa saya menikmati hidup dalam keberagaman antar agama, suku, budaya dan bahasa, saya teringat bahwa masa kecil saya terlalu sederhana dibandingkan dengan masa anak-anak kecil sekarang."
Angpou Idul Firi yang kekinian

 Keterangan:
Definisi “angpou” dalam kamus bahasa Mandarin : sebagai "uang yang dibungkus dalam kemasan merah sebagai hadiah; bonus bayaran; uang bonus yang diberikan kepada pembeli oleh penjual karena telah membeli produknya; sogokan" (https://id.wikipedia.org/wiki/Angpau).

Maknanya : Angpau umumnya muncul pada saat ada pertemuan masyarakat atau keluarga seperti pernikahan, ulang tahun, masuk rumah baru, hari raya seperti tahun baru Imlek, memberi bonus kepada pemain barongsai, beramal kepada guru religius atau tempat ibadah, dan sebagainya. Pada pesta pernikahan, pasangan yang menikah biasanya diberi angpau oleh anggota keluarga yang lebih tua dan para undangan. Masyarakat yang masih teguh memegang budaya tradisional juga menggunakan angpau untuk membayar guru dan dokter.

Angpau melambangkan kegembiraan dan semangat yang akan membawa nasib baik. Warna merah angpau melambangkan ungkapan semoga beruntung dan mengusir energi negatif. Oleh sebab itu, angpau tidak diberikan sebagai ungkapan berbelasungkawa karena akan dianggap si pemberi bersukacita atas musibah yang terjadi di keluarga tersebut. (https://id.wikipedia.org/wiki/Angpau).