Pada suatu pagi yang
cerah masih dalam perayaan imlek, sekitar jam 10-an, saya sedang menyapu teras
rumah sambil mendendangkan lagu di puncak bukit hijau-nya Iis Sugianto,
kemudian saya dikejutkan suara sapaan lembut seorang Bapak tua, sebelum
menjawab sapaan selamat paginya, saya tertegun menatap sosok Bapak ini yang
berpakaian dan berpenampilan putih,
bersih, sederhana, dan menebarkan aroma khas ala orangtua yang wangi, saya
terkesan untuk pandangan pertama. Kemudian
beliau menanyakan keberadaan Abah saya di rumah. Saya pun mempersilahkan beliau
untuk masuk dan duduk serta memanggilkan Abah. Berikutnya saya diberitahukan
oleh Abah, bahwa tamunya kali ini adalah seorang Pendeta Budha.
Tak lama kemudian Abah menemui tamunya, saya pun
mendapatkan intruksi dari Ibunda untuk mengantarkan minuman dan hidangan sekedarnya. Selepas itu
mereka mengobrol dengan penuh keakraban, mendengar suara Bapak Pendeta yang
lembut , bersahutan dengan suara Abah saya. Sungguh harmonis hubungan
pertemanan mereka. Sekitar 30 menit obrolan santai bergulir, minuman dan
makanan kecil sudah dirasai, Bapak Pendeta Budha pamit undur diri, dan
memanggil saya, beliau mendekati saya dan memberikan amplop merah, dengan
mengucapkan kata-kata bijak, sekali lagi dengan penuh kelembutan! Saya terkejut dengan pemberian beliau, amplop
merah! Saya pun mengucapkan terima kasih, beserta Abah, saya melepas kepergian
beliau sampai hilang pandangan punggungnya dari tatapan mata.
Saya membuka amplop
merah tadi, dan isinya selembar uang baru Rp. 5000,- (nominal yang besar pada saat
itu). Saya simpan amplop tersebut selama bertahun-tahun, hingga saya teringat kembali dengan kesibukan angpou-mengangpou saat Hari Raya Idul Fitri kali ini. Saya teringat sosok Bapak Pendeta Budha yang baik dan lembut hati ini, saya teringat bahwa masa kecil saya tak begitu akrab dengan istilah angpou, saya teringat bahwa masa kecil saya tak terlalu paham dengan nilai uang, saya teringat bahwa toleransi antar umat beragama itu sudah ada sejak saya kecil dan sejak sebelum saya dilahirkan, saya teringat bahwa saya menikmati hidup dalam keberagaman antar agama, suku, budaya dan bahasa, saya teringat bahwa masa kecil saya terlalu sederhana dibandingkan dengan masa anak-anak kecil sekarang."
Angpou Idul Firi yang kekinian |
Keterangan:
Definisi “angpou” dalam
kamus bahasa Mandarin : sebagai
"uang yang dibungkus dalam kemasan merah sebagai hadiah; bonus bayaran;
uang bonus yang diberikan kepada pembeli oleh penjual karena telah membeli
produknya; sogokan" (https://id.wikipedia.org/wiki/Angpau).
Maknanya : Angpau
umumnya muncul pada saat ada pertemuan masyarakat atau keluarga seperti pernikahan, ulang tahun, masuk rumah baru,
hari raya seperti tahun baru Imlek, memberi bonus kepada pemain barongsai, beramal kepada guru religius atau
tempat ibadah, dan sebagainya. Pada pesta pernikahan, pasangan yang menikah
biasanya diberi angpau oleh anggota keluarga yang lebih tua dan para undangan.
Masyarakat yang masih teguh memegang budaya tradisional juga menggunakan angpau
untuk membayar guru dan dokter.
Angpau melambangkan
kegembiraan dan semangat yang akan membawa nasib baik. Warna merah angpau
melambangkan ungkapan semoga beruntung dan mengusir energi negatif. Oleh sebab
itu, angpau tidak diberikan sebagai ungkapan berbelasungkawa karena akan
dianggap si pemberi bersukacita atas musibah yang terjadi di keluarga tersebut. (https://id.wikipedia.org/wiki/Angpau).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar