Langsung ke konten utama

Mohammad Natsir: Bukan Sekadar Politisi, tapi Inovator Pendidikan Sejati!

Suatu sore, saya iseng membongkar koleksi buku-buku lama di rak. Mata saya tertuju pada sebuah buku tua, sampulnya klasik, judulnya: "Muhammad Natsir – 70 tahun, Kenang-Kenangan Kehidupan dan Perjuangan" (cetakan pertama tahun 1978).

Jujur, setelah membacanya, saya langsung speechless. Kisah hidup Pak Natsir ini keren banget! Pemikirannya, perjuangannya, kesederhanaannya, dan keteguhan prinsipnya itu klop banget untuk jadi inspirasi kita di zaman sekarang.

Galau Klasik: Agama VS Politik

Pak Natsir ini dulunya sering banget galau. Bukan galau soal cinta, tapi galau gara-gara persoalan klasik yang sering kita jumpai: agama versus politik.

Di masa pergerakan kemerdekaan dulu, ada bibit-bibit pandangan yang seolah meremehkan Islam dalam kancah perjuangan. Pak Natsir merasa "sesak" dengan suasana kebatinan saat itu.

Untungnya, selain PNI-nya Soekarno, ada juga PSII yang dipimpin oleh tokoh-tokoh hebat seperti Haji Agus Salim dan Haji Umar Said Cokroaminoto. Pak Natsir pun bergabung total ke PSII. Di sinilah ia mulai menuliskan pemikirannya tentang Islam dan kebangsaan, lewat majalah "Pembela Islam" atau buku-buku berbahasa Belanda.

Coba bayangkan, kalau zaman itu sudah ada media sosial, sepertinya followers Pak Natsir bakal bejibun! ☺

Akar Masalah: Pendidikan yang "Buta"

Dari kegalauan itu, Pak Natsir menarik kesimpulan: Kenapa sih ada kelompok yang suka mengejek atau menentang Islam? Jawabannya, karena pendidikan dan pergaulan mereka yang cenderung kebarat-baratan sejak kecil.

Pak Natsir realistis. Yang sudah tua, biarlah dengan keyakinannya. Fokus utamanya adalah generasi seumurannya dan generasi yang akan datang. Mereka tidak boleh "buta" lagi soal agama.

Zaman dulu sumber ilmu agama memang langka. Tapi zaman sekarang? No excuse untuk illiterate agama, asal ada kemauan untuk belajar. Setuju?

Revolusi Pendidikan ala Pak Natsir

Berangkat dari situ, Pak Natsir punya hasrat besar: MENGUBAH sistem pendidikan.


Ia melihat dua kepincangan:

  1. Pendidikan Pesantren/Madrasah: Meluluskan siswa yang paham agama, tapi kurang melek perkembangan dunia. Padahal Islam itu mendorong kemajuan dunia dan akhirat, kan?
  2. Pendidikan ala Belanda: Cuma ngisi otak doang, tapi jiwanya kosong!

Setelah diskusi panjang dengan teman seperjuangan, mereka memutuskan mendirikan Taman Pendidikan Islam (disingkat Pendis). Tujuannya mulia: menciptakan "manusia seimbang".

Manusia yang seimbang antara kecerdasan otak dan keimanan, tajam akalnya, dan terampil tangannya. Manusia yang percaya diri, mandiri (self-help), dan enggak cuma bergantung pada ijazah untuk cari kerja kantoran.

Dalam tulisan Pak Natsir, manusia seimbang ini sering disebut "ummatan wasathan" (umat yang berkeseimbangan), pelopor yang menuntun manusia lainnya. Keren, ya? Sistem Pendis inilah yang menjadi cikal bakal banyak lembaga pendidikan Islam di Indonesia hingga kini.

Active Learning Tahun 1932!

Yang paling bikin melongo dari sistem Pendis ini adalah metode belajar-mengajarnya.

Di tengah tren pendidikan Indonesia yang sekarang sibuk bahas active learning, kurikulum KTSP, K13, atau pendidikan karakter... Pak Natsir sudah mempraktikkannya sejak tahun 1932!

Begini ceritanya:

  • Anti Hafalan Pasif: Pak Natsir enggak mau siswanya cuma jadi "beo" yang pasif menampung informasi dari guru. Siswa harus aktif! (Ini sih rasanya pendidikan zaman sekarang malah kemunduran, ya?)
  • Khatib Cilik: Pelajaran agama jadi WAJIB. Setiap Jumat, ada salat Jumat bersama. Yang jadi khatib? Siswa kelas tertinggi! Ini latihan public speakinglife skills, sekaligus kaderisasi.
  • Praktik Langsung: Ada pelajaran kerajinan tangan dan berkebun di lahan satu hektar (pasti seru tuh cangkul-cangkul bareng!).
  • Musik dan Seni: Ada piano untuk mengiringi pelajaran menyanyi. Lagu-lagunya fresh, diciptakan sendiri oleh guru atau bahkan para siswa senior!
  • Pentas Seni Akbar: Setahun sekali diadakan malam "ibu-bapa" (semacam Pentas Seni/Pensi). Ada showcase drama, musik, tari, dan pameran kerajinan yang hasilnya dibeli orang tua. Pensi ini terkenal seantero Bandung karena bagus!

Dari Pensi ini, siswa belajar percaya diri, menghilangkan "rasa minder", dan bangga menjadi Muslim/Muslimah yang berkualitas. The power of process!

Lulusan yang Beda

Selama 10 tahun (1932-1942), Pendis menghasilkan lulusan yang keren abis. Mereka enggak melulu ngejar jadi PNS. Ada yang jadi guru di sekolah swasta (seperti di sekolah/madrasah Muhammadiyah), mendirikan sekolah Pendis di daerah lain, jadi tentara di zaman revolusi, sampai jadi anggota parlemen yang aktif.

Satu pandangan Pak Natsir yang relate banget sama kondisi kita sekarang:

Pak Natsir senantiasa lebih menghargai kebebasan jiwa daripada kemewahan hidup.

Sifat inilah yang harus kita pupuk. Agar kita enggak gampang gentar hadapi masa depan. Percaya pada kekuatan diri sendiri, dan yang paling penting, percaya pada lindungan Ilahi.

Semoga kisah Pak Natsir ini menginspirasi, ya!

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MIND MAPPING – VARIASI METODE BELAJAR

………….. Dasar pendidikan kita adalah kepatuhan. Bukan pertukaran pikiran. Ilmu sekolah adalah ilmu hafalan, dan bukan ilmu latihan menguraikan. (Sajak Anak Muda - WS. Rendra) Setiap orang memiliki gaya belajarnya, masing-masing dari kita yang sudah berusia matang bisa flash back ke masa berseragam merah putih hingga putih abu-abu, saat itu pembelajaran dan belajar di dominasi dengan menghafal, aspek lainnya hanya sebagian kecil saja. Padahal kata kuncinya, setiap orang mempunyai gaya belajar masing-masing! Saya senang sekali mengutip pernyataan dari Albert Einstein pada gambar di bawah ini, menurut saya pernyataan tersebut untuk situasi belajar yang masih terjadi di sekolah-sekolah saat ini... Sumber : www.google.com Nah, bagi yang cocok dengan gaya belajar menghafal, berhasillah dia sebagai jawara kelas, bagi yang tidak, berhasillah juga dia mendapat cap gak pinter...nasib kau lah nak! Ya... seseorang yang tidak bisa memanggil memori hafalannya bukan berarti bodoh ...

Ide Main Seru Minim Budget: Mengoptimalkan Barang Bekas untuk Belajar!

Masa kanak-kanak itu identik banget sama satu kata:  Bermain! Mau di luar sana lagi banjir, macet, listrik mati, atau krisis air bersih, dunia anak-anak tetaplah dunia bermain. Mereka bisa tetap  happy  dan asyik dengan dunianya, karena bermain adalah bahasa universal mereka. Uniknya, melalui bermain, baik sendirian atau bareng teman, anak-anak belajar banyak hal penting yang bakal pengaruh ke tumbuh kembang mental mereka. Mereka belajar sosialisasi , mandiri, komunikasi, berbagi, dan seabrek  skill  hidup lainnya.  Learning by playing  itu nyata adanya! Dilema Mainan: Mahal vs. Bermakna Namanya main, pasti enggak jauh-jauh dari mainan, kan? Sekarang gampang banget nemu mainan dijual di pasar. Dari yang murah banget sampai yang harganya bikin dompet nangis, dari bahan aman sampai yang... ya, gitu deh. Di sinilah peran kita sebagai orang tua diuji. Gimana caranya milih mainan yang aman, dan yang paling penting, gimana bikin momen bermain itu...

Menembus Jantung Borneo: Kapuas Hulu Permata Khatulistiwa

Jarak itu mitos, kata orang. Tapi bagi saya, Kapuas Hulu adalah bukti nyata bahwa jarak itu  ada  dan  jauh banget . Bertahun-tahun lamanya kabupaten di hulu Kalimantan Barat ini cuma jadi destinasi Impian, info tentang Kapuas Hulu hanya sebatas cerita mulut ke mulut. Aksesnya yang sulit bikin niat  traveling  selalu tertunda. Tapi, seperti kata teman-teman di Jawa,  Gusti Allah mboten sare . Kesempatan itu akhirnya datang! Semangat saya langsung membara, Ini bukan sekadar perjalanan, tapi misi menembus jantung Borneo. Menyusuri Kapuas Hulu: Sekilas Tentang Negeri Hulu Kapuas Kapuas Hulu punya ibu kota bernama Putussibau . Perjalanan ke sana bisa lewat darat, air, atau udara—yang terakhir ini paling realistis untuk saya. Kabupaten seluas 29 ribu km² ini menyimpan hutan lebat, sungai Panjang mengular, serta pesona Danau Sentarum yang dikenal sebagai tempat berkembang biaknya arwana , si ikan cantik yang harganya fantastis. Membaca sejarahnya, say...