Pada suatu hari, penulis
ingin membaca koleksi buku-buku lama, pilihan tangan menyentuh suatu buku tua,
yaitu “ Muhammad Natsir – 70 tahun,
Kenang-Kenangan Kehidupan dan Perjuangan”, Penerbit Pustaka Antara Jakarta,
Cetakan pertama tahun 1978. Umur buku ini hampir sama dengan umur penulis (uhuk
:D). Jujur, penulis kagum dengan kisah hidup Pak Natsir yang pemikiran,
perjuangannya, kesederhanaan, keteguhan prinsipnya sangat menginspirasi, tapi untuk membaca buku
ini secara perlahan dan detail belum nemu waktunya, nah...sepertinya sekarang
adalah waktu yang tepat untuk menuliskannya...#hloh?
Penulis hanya akan
menulis sedikiittt dari bagian buku ini, ya..selain untuk pembelajaran bagi
penulis sendiri, juga bagian ini mencuri hati penulis...bikin my heart melted gituh ^_^, yaitu
mengenai upaya pendidikan dalam rangka mencerdaskan anak bangsa yang dirintis
oleh Pak Natsir, dan membayangkan saat itu, saat zaman Pak Natsir sekitar tahun
1930-an daaannnn...saat ini, let’s say
2000-an deh!
Allright, let’s start from kisah kegalauan salah satu Bapak
bangsa kita... baca Bismillah dulu yukkks ;)
Mulai dari Bapak Natsir
yang dilanda galau karena teramat sering menjumpai persoalan agama versus
politik. Masa itu, gerakan kebangsaan
yang dipelopori Soekarno dan teman-temannya mengandung bibit-bibit kebencian dan
memandang enteng kepada Islam. Meskipun menentang penjajahan, tidak hanya partai PNI dengan Soekarno saja,
terdapat partai lain, yaitu PSII yang lebih tua 15 tahun umurnya dari PNI –
pimpinan Haji Agus Salim dan Haji Umar Said Cokroaminoto. Kemudian Natsir bergabung
ke dalam PSII secara totalitas untuk melawan partai politik yang tidak
berdasarkan cita-cita Islam, malah memaki-maki Islam. Pada masa ini, lahirlah tulisan Natsir tentang Islam dan kebangsaan melalui majalah
“Pembela Islam” ataupun buku-buku yang ditulisnya dalam bahasa Belanda. Kebayang
ya...begitu sesak “suasana kebatinan” Pak Natsir pada saat ini. Kalau sudah ada
medsos, sepertinya Pak Natsir akan memiliki banyak followers :D
Dari keadaan tersebut,
Pak Natsir menyimpulkan bahwa mengapa ada kelompok-kelompok yang mengejek dan menentang Islam? Jawabannya
karena pendidikan mereka sedari kecil,
dan pergaulan mereka dalam masyarakat
yang kebarat-baratan (sekarang juga gitu sih Pak...tulisan ini juga
kebarat-baratan hehe). Sehingga Natsir berpikir, yang sudah tua, biarlah
begitu, yang penting adalah generasi yang seumuran dengannya dan generasi yang
akan datang agar tidak begitu “buta”
lagi selaku ummat Islam dan yang mengaku jadi ummat Islam. Zaman itu belum
terlalu banyak sumber-sumber ilmu dan bacaan tentang agama, sedangkan sekarang?
Tak ada alasan illiterate agama, asal
ada kemauan saja untuk mempelajari agama yang diyakininya agar menjadi insan
yang lebih baik, where there’s a will,
there’s smith, oups!! Sorry there’s a way ;)
Dengan pemikiran
tersebut, Pak Natsir berhasrat MENGUBAH sistem
pendidikan dan pengajaran. Melihat hasil
pendidikan dari Pesantren dan Madrasah yang meluluskan siswa-siswa yang
mengerti agama, namun buta akan perkembangan dunia, padahal Islam
mendorong kepada kemajuan dunia dan
akhirat kan? Sedangkan pendidikan ala Barat yang diberikan oleh penjajahan
Belanda saat itu, hanya mengisi otak saja, jiwanya kosong! Nah...ada
kepincangan dari kedua sistem pendidikan tersebut. Setelah melalui proses
perenungan dan diskusi panjang bersama teman-teman seperjuangannya, diambil
keputusan untuk mendirikan suatu Taman Pendidikan Islam yang diperuntukkan
untuk putera-puteri Islam.
Tercetuslah suatu sistem
pendidikan sebagai penggabungan dari sistem pendidikan yang telah ada, yaitu sistem
“Pendidikan Islam” (Pendis) yang ringkasnya bertujuan membentuk manusia yang seimbang.
Seimbang kecerdasan otaknya dengan keimanannya kepada Allah dan Rasul. Seimbang
ketajaman akalnya dan kemahiran tangannya untuk bekerja. Manusia yang percaya
kepada kekuatan sendiri, bisa berdiri sendiri (selfhelp), dan tidak selalu bergantung kepada harga ijazah untuk
makan gaji sebagai pegawai. “Manusia
seimbang” ini dalam tulisan-tulisan Pak Natsir seringkali disebut dengan “ummatan wasathan”, umat yang
berkeseimbangan. Berkeseimbangan “dunia
dan akhirat”, ummat yang menjadi pelopor, perintis jalan bagi manusia lainnya,
serta menurutkan tuntunan serta langkah-langkah Rasulullah sebagai pelopornya.
Begitulah latar belakang
terbentuknya sistem Pendidikan Islam yang hingga kini digunakan oleh
lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia.
Adapun praktek
belajar-mengajar sistem Pendis-nya Pak Natsir ini menarik pemikiran penulis.
Walaupun di buku ini tidak tertulis secara detail seperti modul-modul pelatihan
untuk guru, tapi cukup memberikan gambaran besar untuk penulis sebagai gambaran
yang keren. Mengapa menarik? Mungkin
sekitar 20-an tahunan kebelakang, kita (dunia pendidikan di Indonesia) sibuk
membicarakan tentang pembelajaran siswa aktif yang menyenangkan (active and
joyful learning), kurikulum KTSP sampe K13, pendidikan karakter, dst...dst...
but..look, Pak Natsir sudah melakukannya
masbro dan mbakbro.. tahun 1932! (akyu juga baru ngeh hehehe-nya
nyengir).
Begini nih jalan ceritanya...
Apa-apa yang disampaikan
di sekolah pemerintah Belanda, oleh Pendis juga diberikan, karena memang
tujuannya kan begitu (baca lagi di bagian tulisan sebelumnya). Tapi dengan cara
yang berbeda. Pak Natsir tidak ingin
menghabiskan waktu terlalu banyak bagi siswa untuk menghafal. Siswa harus lebih
aktif, tidak passif menampung infromasi dari guru seperti beo! (Nah tuh kan, sistem
pendidikan zaman orba sampe sekarang mengalami kemunduran rasanya, wong zaman
Pak Natsir aja pelaksanaannya udah begini?).
Pendidikan agama
diberikan sebagai mata pelajaran WAJIB!
Setiap hari Jum’at dilakukan bersama-sama di gedung sekolah, terkadang yang menjadi
khatib adalah murid kelas tertinggi di level Kweekschool (sebagai latihan public speaking, bagian dari life skills, dan kaderisasi khatib).
Diberikan pelajaran
kerajinan tangan mulai dari kelas rendah sampai kelas tertinggi. Bagi siswa
MULO dan Kweekschool seminggu sekali diberikan pelajaran berkebun di lahan satu
hektar di wilayah Ciateul (praktek langsung cangkul-mencangkul dan tanam-menanam
sepertinya, gak pake polybag :D )
Yang ini juga menarik...
ada piano (jadi ingat Bang Haji :D). Nah piano dimainkan untuk mengiringi
pelajaran menyanyi..tahun 1932 loh ya, ingat! Lagu-lagunya dikarang sendiri
oleh guru menyanyi, bukan lagu unduhan :D, jadi lagu-lagunya tetap fresh, gak bosenin, nyanyiannya gak
itu-itu aja! Siswa yang kelas tinggi juga diminta untuk mengarang lagu-lagu
yang nanti akan diajarkan kepada adik-adik kelasnya. (Sebagai penyaluran bakat
seni yang dimiliki siswa).
Setiap sekali dalam
setahun diadakah malam “ibu-bapa”, semacam Pensi (Pentas Seni). Ada showcase dari siswa, seperti sandiwara,
musik, dan tari-tarian. Pameran hasil kerajinan tangan siswa, yang kemudian
dibeli oleh para orangtua. Pensi sekolah ini menjadi terkenal seantero kota Bandung
karena bagus mutunya, setimpal dengan proses yang mereka jalani, yaitu latihan
keras selama berbulan-bulan. Dari PROSES
latihan tersebut terdapat pelajaran yang berharga bagi siswa dan guru-guru.
Bagi guru, mereka lebih mengenal watak siswa-siswanya, sedangkan bagi siswa
melatih membangun rasa percaya diri, mengikis “rasa kecil” dan tampil berani,
bangga sebagai seorang Muslim dan Muslimah yang berkualitas!
Selama 10 tahun berdiri
(1932-1942) yang kemudian terpaksa ditutup pada masa penjajahan Jepang, Pendis telah menghasilkan lulusan yang tidak
mengecewakan. Para alumnus terjun ke masyarakat. Mereka tidak mementingkan
hendak menjadi pegawai negeri seperti
keluaran sekolah-sekolah sederajat
lainnya. Kalau mereka menjadi guru, mereka bekerja di sekolah partikelir (swasta)
seperti Muhammadiyah. Bahkan ada yang berinisiatif mendirikan HIS “Pendis” di
wilayah lain, seperti : Bogor, Cirebon, Jatinegara, Tanjung Priok, Pulau Bangka
dan, Kalimantan. Ada pula pada zaman revolusi RI yang menjadi tentara bertempur
memimpin pasukan. Ada yang menjadi
direktur SMP Pemerintah RI. Ada yang menjadi pegawai menengah di Jawatan
Pendidikan Agama, dan ada yang menjadi anggota konstituante yang aktif.
(Keren!)
Pandangan Pak Natsir yang
menurut penulis, yaa... penulis banget :D
“Pak Natsir senantiasa lebih menghargakan
kebebasan jiwa daripada kemewahan hidup. Sifat –sifat itu harus dipupuk dan
dihidup-suburkan. Karena, seseorang tidak akan merasa gentar dan gamang
menghadapai hari depan. Percaya akan kekuatan diri dan akan lindungan Ilahi
yang pengasih lagi penyayang”.
Sekian – Wassalam
============***********=============
Tidak ada komentar:
Posting Komentar