Kamis, 10 September 2020

Be a Dynamite

 Perfection is the enemy of progress” – Winston Churchill

Saya sering menunda dan memikirkan berkali-kali untuk menulis dan mem-posting/mem-publish tulisan yang telah saya buat. Kenapa? Karena saya merasa tulisan ini tak terlalu bagus, kurang “nendang” isi dan bahasanya. Kata-kata yang saya gunakan terlalu sederhana, kurang ilmiah, kurang akademis, kurang intelek, kurang ini – itulah … ujung-ujungnya saya minder, yasud … tulisannya parkir di folder sampai batas waktu yang tak ditentukan hingga terlupakan nasibnya.

Tapi, sering pula saya browsing atau membaca tulisan karya orang lain, saya membandingkan dan menganggap tulisan saya gak kalah bagus kok dengan mereka. Saya-nya saja yang ingin tampak sempurna dan berkualitas dengan standar yang saya buat sendiri, sehingga saya gak kemana-mana, muter-muter dalam pagar-batasan yang saya buat sendiri dengan setinggi-tingginya.

Saya membaca suatu tulisan dari David Perell[1] yang mengulas tentang melatih kemampuan menulis. Tulisan pas untuk kondisi yang saya hadapi. Dalam salah satu sub tulisannya yaitu kuantitas versus kualitas (permasalahan yang saya alami), David memberikan contoh sederhana namun menarik, yaitu seorang guru yang memberikan tugas kepada siswanya untuk membuat keramik.

Guru membagi siswa dalam dua kelompok, yaitu kelompok kuantitas dan kelompok kualitas. Prosedur yang diberikan oleh guru sederhana saja, yaitu : pada hari pengumpulan tugas, karya dari kelompok kuantitas akan ditimbang, dengan kategori lima puluh pon pot diberi nilai "A", empat puluh pon sebuah "B", dan seterusnya. Namun, untuk kelompok kualitas, hanya perlu menghasilkan satu pot untuk mendapatkan “A”.

Hari penilaian tiba dan fakta aneh muncul, ternyata karya dengan kualitas yang terbaik ternyata dihasilkan oleh kelompok kuantitas! Mengapa hal ini bisa terjadi? Tampaknya ketika kelompok kuantitas sibuk mengaduk-aduk tumpukan pekerjaannya, mereka banyak belajar dari kesalahannya. Sementara yang terjadi di kelompok kualitas, mereka sibuk berdiskusi dan berteori tentang kesempurnaan, dan pada akhirnya mereka tidak mengerjakan apapun, selain teori dan tumpukan tanah liat.

Jadi … kesimpulan yang saya ambil dari contoh tersebut :

“Semakin banyak engkau menulis (kuantitas), maka semakin mengerti dimana letak kekurangan dari setiap tulisan, kondisi ini yang akan menjadikan tulisanmu semakin berkualitas (quality)”.

Konsistensi dalam menulis diperlukan untuk mengembangkan kemampuan sehingga menghasilkan tulisan yang berkualitas.

Sore tadi saya tergoda untuk membuka link video music yang berjudul Dynamite, dinyanyikan oleh BTS, sebuah group band dari Korea Selatan(K-Pop). Lagunya sampai sekarang masih melekat untuk didendangkan, iramanya riang, liriknya berbahasa Inggris, dance-nya gak ribet. Intinya, lagunya asik!



Saya yakin sih, tim mereka bekerja keras dalam segala lini, sehingga faktanya video music yang tayang selama 5 jam 30 menit sudah ditonton 40 juta viewers[2]: trial and error, mulai dari lirik, nada, kostum, koreografi, kerjasama dengan tim label rekaman lain, latihan vocal, dan lain-lain. Analogi untuk menghasilkan sebuah karya adalah konsistensi yang suatu saat akan menjadi ledakan dinamit!

“…I'm diamond you know I glow up
Hey, so let's go

Cause ah, ah, I'm in the stars tonight
So watch me bring the fire and set the night alight
Shining through the city with a little funk and soul
So I’m light it up like dynamite, woah …”



[1] David Perell,"The Ultimate Guide to Writing Online", https://www.perell.com/blog/the-ultimate-guide-to-writing-online, (diakses pada 8 Sept 2020, pukul 19.30 WIB)

[2] Karwati Putu Latief, "Fakta Dynamite BTS-Single Pertama Full Berbahasa Inggris, https://www.harapanrakyat.com/2020/08/fakta-dynamite-bts/, (diakses pada 9 Sept 2020, pukul 18.00 WIB)

 

Sabtu, 02 Mei 2020

Covid 19 dan Mewahnya Keberlimpahan Waktu

Tidak ada yang menyangka akan mengalami kondisi “lumpuh” selama hampir 2 bulan ini. Pandemi Covid 19 (Corona Disease 2019) yang membuat sebagian besar negara dan rakyatnya mengurung diri di rumah masing-masing, menjaga jarak, menghentikan kebiasaan bersalaman, membiasakan mencuci tangan dengan sabun, menggunakan masker setiap keluar rumah, mandi setelah bepergian, menjauhi kerumunan, berinteraksi dengan memanfaatkan teknologi, dan lain-lain.

Semua orang merasakan dampak yang ditimbulkan oleh merebaknya Covid 19, mulai dari anak balita hingga orangtua yang sepuh sekalipun, mulai dari masyarakat berekonomi lemah hingga yang crazy rich, masyarakat yang tinggal di perkotaan hingga pedesaan pojok gunung, daerah pantai hingga kota besar metropolitan, semuanya … luar biasa!

Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus pertama Covid 19 pada awal Maret 2019, otomatis sejak saat itu reaksi masyarakat bermacam-macam, di tempat tinggal saya, sudah mulai melakukan penutupan wilayah (semi lockdown) sehari setelah pengumuman presiden tersebut. Total sudah hampir 6 minggu warga masyarakat di rumah saja, tidak ada aktivitas ekonomi seperti biasanya. Orang-orang yang biasanya sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing setiap harinya, yang biasa berdagang, membuka warung-warung usahanya menjadi di rumah saja, yang sudah merencanakan hajatan besar seperti resepsi pernikahan juga harus membatalkan acaranya, nyaris dalam 6 minggu ini mereka seperti orang-orang bingung saja.



Para kaum Ibu-Ibu memanfaatkan waktunya dengan duduk-duduk berkumpul bersama tetangga, hmmm.. padahal kegiatan berkumpul dilarang ya? Ntahlah, mungkin untuk skala kecil dengan orang-orang yang diketahui jejak aktivitasnya, tak masalah untuk saling berkumpul. Bagaimana dengan kaum Bapak? Tak kalah pula dengan kaum Ibu, mereka juga membuat perkumpulan pula, alih-alih bosan di rumah, mereka membuat jadwal ronda berkala untuk memantau keluar-masuknya non warga, membahas langkah-langkah antisipasi jika ada warga yang membandel, dan topik lainnya. Bagaimana dengan anak-anak? Tak kalah bosan juga, tapi mereka punya cara yang lebih alami, bermain sepeda keliling komplek, bosan dengan game di HP atau kuotanya yang terbatas, bermain bola di halaman, kelihatannya untuk anak-anak tidak semenderita orang dewasa.


Memang covid 19 membawa kesusahan, namun kalau dilihat dari sisi positifnya, kondisi ini membawa hal baik, yaitu dalam keberlimpahan waktu!

Namun, tak semua orang dapat menggunakan kemewahan waktu yang tersajikan ini, mungkin karena kurang siap, panik dengan kondisi dan pemberitaan dari berbagai media, atau memang tidak tahu musti ngapain.

Untuk kalangan pekerja professional, kondisi ini kurang signifikan dirasakan, malahan mungkin malah menyebalkan , karena waktu kerja menjadi tidak teratur, tak terbiasa dengan ritme work from home.

Stay at Home dan Ramadhan

Semakin hari jumlah pasien penderita covid 19 bertambah, meskipun yang sembuh juga ada. Mulai Maret 2020, April 2020, dan Mei 2020 yang sudah masuk minggu ke- 2  bulan Ramadhan, penyebaran Covid 19 belum menunjukkan penurunan, status masih waspada.

Kondisi ketersediaan waktu yang berlimpah tadi dan moment Ramadhan, merupakan suatu kebetulan yang indah, jika kita ingin melihat sisi baiknya.

Bulan Ramadhan dimana Allah akan memberikan bonus-bonus special untuk hamba-hambaNya yang menyibukkan diri dengan amal ibadah. Biasanya, urusan duniawi kita lebih diutamakan dari urusan ibadah, sekarang Allah seakan menyuguhkannnya, kita bisa memanfaatkannya dengan semaksimal mungkin sembari memohon kepadaNya agar pandemi ini segera berakhir.

Di sinilah pentingnya belajar mengaji sedari kecil, pentingnya memupuk gemar membaca sejak kecil, gemar melaksanakan ibadah-ibadah sunnah, pentingnya memiliki hobi. Mengapa ? Karena dengan hal-hal tersebut membuat masa-masa lockdown menjadi lebih bermakna.

Prihatin sekali melihat Ibu-Ibu yang masih produktif menghabiskan waktunya berkumpul-kumpul, begitu pula dengan Bapak-Bapaknya. Kuota waktu yang Allah berikan kepada kita semua sama, yaitu 24 jam. Sayang sekali jika kita tidak memanfaatkannya dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, ya tidur memberikan bermanfaat dan bernilai ibadah dalam puasa Ramadhan, tapi bila ada yang nilainya lebih bermanfaat, seperti mengaji – mendalami tafsirnya, bukankah lebih bermakna daripada tidur? Membaca buku-buku agama akan menambah wawasan daripada hanya mendengar cerita yang berdasarkan “katanya”, atau menekuni hobi seperti berkebun, membuat kue, menyulam, dan sejenisnya.

Waktu menjadi bermakna bukan karena lamanya, tapi karena kebaikan-kebaikan yang kita lakukan didalamnya.


Selasa, 26 November 2019

DEMI WAKTU


"The cell phone has become the adult's transitional objects, replacing the toddler's teddy bear for comfort and  a sense of belonging."  - Margaret Heffernan -

Latar Belakang:

  • Saya mengamati mantan Bos saya yang selalu membalas text whatsapp saya pada jam-jam tertentu saja. Berulangkali seperti itu, saya tidak menanyakan kepadanya kenapa seperti itu, saya berkesimpulan beliau memiliki semacam jadwal untuk me-reply teks, karena memang orangnya sangat disiplin terhadap penggunaan waktu, semua terukur, tidak seperti saya, kapan pun available, kapan pun online, kapan pun nge-reply! L
  • Saya membaca suatu postingan di twitter yang menyatakan bahwa :
“IMAGINE THEY DELETE INSTAGRAM AND BOOM! 
YOU’RE NOT A MODEL ANYMORE.”
         Ya, apa yang terjadi jika Mark Zuckerberg dengan berbagai alasan menutup Facebook dan                   Instagram? Bagaimana reaksi kalian? Hidup kalian menjadi sepi, gak bisa posting poto selfie,             poto anak dari bayik sampe wisuda TPA, poto liburan, poto makan-makan, apapun itu .. J
  • Secara tidak disengaja pula, saya membaca kalimat ini di suatu tulisan online, saya lupa sumbernya, tapi kurang lebih seperti berikut ini :

“We’re all spending too much time on our smartphone. And that time spent mindlessly scrolling through twitter, watching random videos on YouTube and playing addictive mobile games could be put too much better use”.
  • Saya generasi awal pengguna media social yaitu Facebook, sebelumnya Yahoo Messenger,  ya sudah lama sekali, dan rasanya mulai dihinggapi rasa bosan dibandingkan dengan yang baru 3 tahunan mulai bergabung dan masih semangat saja untuk posting segala hal di kehidupannya.
  • Saat ini, saya tidak memiliki urgensi menggunakan handphone dan media social sebagai sarana bekerja secara professional.
  • Saya ingin lebih produktif menggunakan waktu.

Jadi, berangkat dari keresahan pribadi dan kepentingan dalam menggunakan handphone, maka saya memutuskan untuk menggunakan handphone dan bersosial media secara bijaksana, sehingga waktu saya akan saya manfaatkan untuk hal-hal lain yang bermanfaat dan produktif, seperti merajut, merenda kasih sayang, memperbanyak amal ibadah, mengembangkan hobi, membaca buku, etc.

Bagaimana Bijaksananya Saya?

Saya harus menahan keinginan saya untuk selalu membuka aplikasi-aplikasi di handphone, terutama sosial media. Caranya ? Yaitu dengan mengaturnya. Saya mengunduh aplikasi yang tersedia di Play Store tentang screen time atau Digital Wellbeing Experiments dari Google, bisa dicheck pada link berikut : https://experiments.withgoogle.com/collection/digitalwellbeing

Bagaimana Proses dan Dampaknya?

  • Saya memberikan batasan waktu untuk saya dalam berhandphone berikut mengecek aplikasi social media dalam 1 hari adalah 3 jam, kecuali pada weekend, saya memberi bonus menjadi 6 jam per hari. Bonus sebagai apresiasi kepada diri sendiri karena sudah dapat mengalahkan keinginan kurang berfaedah tersebut J
  • Dua hari pertama terasa sangat berat, tidak mudah bagi saya untuk menahan keinginan tersebut, karena saya begitu lincah dan aktif dalam berselancar di social media, mungkin begini rasanya perokok yang ingin berhenti merokok. Betul banget bahwa handphone ini menjadi candu (addict) bagi pemiliknya, sedih ya L
  • Dua hari pertama yang berat, namun saya bisa dengan tidak melebihi batasan waktu yang telah saya buat, sama halnya juga pada weekend, saya tidak menggunakan full waktu 6 jam untuk berhandphone dan social media.
  • Pikiran menjadi lebih tenang, saya tidak perlu risau terhadap reply comment yang diberikan, tidak kepo terhadap postingan si A sampai Z!
  • Saya bisa lebih cepat dan focus membaca dan menyelesaikan buku bacaan yang selama ini mangkrak berdebu di pojokan rak.
  • Progress penggunaan handphone dengan aplikasi screen time:


Photo 1

Photo 2
Pada photo 1 dan 2 aplikasi, terlihat bahwa pada suatu hari saya menggunakan Facebook lebih sering daripada lainnya, sedangkan hari lainnya, saya lebih lama menggunakan twitter. Aplikasi merekap pula penggunaan handphone selama 7 hari :



Evaluasi Proses:

Setelah 4 hari kebijaksaan ala saya diterapkan, maka evaluasi dan pembelajarannya yang dapat saya ambil adalah :
  • Saya mengalokasikan waktu untuk merespon berbagai pesan text selama 3 kali dalam 1 hari, yaitu pada jam 7, jam 12, dan jam 4 sore. Kondisi ini akan saya evaluasi kembali jika diperlukan.
  • Saya akan memberi pengecualian penggunaan handphone yang terkoneksi internet untuk mengecek email penting dan membaca suatu informasi pada website untuk memperdalam pengetahuan pada tema yang saya ingin ketahui.
  • Batasan waktu tidak berlaku jika saya melakukan edit photo atau video ... *cheating! J 


Kesimpulan

  • Saya berharap dari batasan 3 jam ini dapat semakin berkurang dari waktu ke waktu, sesedikit waktu yang digunakan, maka menjadi lebih baik!
  • Saya berharap pula, kebijaksanaan ala saya ini menjadi habit baik bagi pribadi saya, sehingga saya akan lebih focus melakukan hal-hal lainnya.
  • Saya menanamkan dalam pikiran saya, mungkin terlalu ekstrim bahwa tidak terlalu penting untuk mengetahui segala hal yang sedang terjadi, dan tidak perlu membuktikan eksistensi diri dalam social media, alih-alih malah mempublikasikan kehidupan pribadi.
  • Awalnya memang SULIT! Tapi setelah diujicobakan, ternyata saya BISA!

What’s next?

Saya akan mencoba membatasi penggunaan Facebook, mungkin hanya 1 minggu sekali online yang selama ini masih setiap hari.
   
“If you can’t measure it, you can’t change it!” - Peter Drucker

Kamis, 21 November 2019

Bermula dari Mindset (Part-1)


Kita semua memiliki mindset atau pola pikir, namun tidak semua orang bermindset sama. Mengapa bisa terjadi perbedaan mindset? Ya karena manusia berpikir, bertindak, dan menjalani hidup secara berbeda, dengan latar belakang kehidupan yang bermacam-macam pula, pengalaman, pelatihan, atau cara belajar[1]. Terdapat jenis-jenis mindset, yaitu fixed mindset dan growth mindset.    
  •       Fixed mindset atau pola pikir tetap/kaku : menganggap sesuatu yang terjadi tidak dapat diubah, cenderung pesimis, negative, kualitas diri sudah ada sejak dilahirkan, tidak bisa berkembang.
  •      Growth mindset atau pola pikir berkembang : menganggap sesuatu yang terjadi secara optimis, positif, kualitas diri dapat diolah, dilatih sehingga dari tidak bisa menjadi bisa.  



Keterkaitan Mindset dengan Proses Belajar


Proses belajar tidak hanya berlaku bagi anak-anak yang usia PAUD sampai tingkat sekolah menengah atas saja, namun berlaku pula bagi orang dewasa, karena belajar akan terus terjadi sampai akhir hayat manusia. Oleh sebab itu, peranan mindset sangat penting dalam proses ini.

Berikut contoh sketsa singkat yang mendeskripsikan keterkaitan fixed mindset vs growth mindset ini:
  •      Pak Joko sebagai seorang guru Bahasa Inggris kelas 8 di suatu SMP menganggap Santoso salah satu siswanya, tidak akan mahir berbahasa Inggris sampai kapanpun juga, karena nilai-nilai ujiannya selalu buruk, selain itu Santoso tidak pernah menunjukkan minatnya dalam berbahasa Inggris.
  •       Santoso seorang siswa yang memiliki tipe pembelajar aktif, dia sangat menikmati pembelajaran yang menuntut praktek daripada hanya mendengar penjelasan dan kemudian mencatatnya di buku tulis. Santoso juga senang dengan pembelajaran yang menggunakan media seperti video atau buku bacaaan karena jam pelajaran menjadi tidak membosankan.
  •       Pak Joko memasuki masa purna tugas (pensiun) sebagai guru, beliau digantikan oleh Ibu Susi untuk mengajar Bahasa Inggris.
  •      Ibu Susi mengajar Bahasa Inggris dengan menggunakan berbagai media, seperti video dari yang diunduh dari youtube untuk melatih skill conversation dan menambah vocabulary siswa. Untuk melatih kemampuan listening, Ibu Susi menggunakan tape recorder. Siswa diminta untuk berlatih dengan mencari vocabulary sesuai dengan tema pembelajaran.
  •       Santoso menjadi bersemangat untuk belajar Bahasa Inggris. Pada ujian semester, Santoso mendapatkan nilai yang lebih baik serta aspek kemampuan berbahasa Inggris lainnya memiliki kemajuan daripada sebelumnya, begitu pula teman-temannya yang lain.
  •      Ibu Susi memberikan apresiasi berdasarkan peningkatan yang siswanya raih. Ibu Susi mengapresiasi proses yang para siswa lakukan untuk mendapatkan hasil belajar yang lebih baik.
  •      Santoso menjadi lebih baik kualitas belajarnya, tidak hanya Bahasa Inggris tapi mata pelajaran lainnya pula. Santoso menyimpulkan bahwa pernyataan Pak Joko yang menganggap dirinya tidak akan berhasil adalah keliru, dan Santoso berpikir bahwa segala sesuatu dapat menjadi baik jika dia berusaha, berlatih, dan tak henti untuk belajar.

Mari kita kupas detail dibalik contoh tersebut:
  •          Pak Joko, seorang guru yang memiliki pola pikir tetap/kaku (fixed mindset).Menurutnya, Santoso sudah tak bisa berubah menjadi lebih baik. Baginya siswa harus mendengarkan penjelasannya dan mencatatnya secara rapi di buku tulis masing-masing, sehingga saat ujian tiba mereka bisa mempelajarinya secara baik.
  •        Ibu Susi, seorang guru yang memiliki pola pikir berkembang (growth mindset). Menurutnya setiap siswa tidak sama dalam belajar, ada yang menyukai metode ceramah, ada yang menyukai menonton video, ada pula yang menyenangi praktek. Oleh karena itu, Ibu Susi mempraktekkan berbagai metode dalam kegiatan mengajarnya agar dapat mengakomodasi berbagai tipe pembelajar siswa.
  •        Santoso adalah seorang siswa yang perlu bantuan orang dewasa dalam hal ini adalah guru untuk menggali potensinya, dan memfasilitasi potensinya tersebut supaya terbentuk menjadi lebih baik untuk mencapai hasil maksimal.


     Mengembangkan Mindset
Dalam bukunya berjudul Mindset, Carol S. Dweck menyarankan bagi para guru untuk selalu memberikan umpan balik  tentang proses belajar yang siswa lakukan, sehingga siswa mengetahui berada pada level yang mana kemampuannya, apa saja yang harus ditingkatkannya ke depan, sehingga guru tidak perlu menurunkan standar pelajarannya agar nilai (kualitas) siswa meningkat,  karena percuma juga jika guru meningkatkan standar pengajarannya tanpa memberikan siswa tentang cara untuk mencapainya, itu pun tidak akan meningkatkan nilai (kualitasnya) secara signifikan .
Menjadi ideal jika guru yang memiliki mindset berkembang dengan :
  •       Memberikan pengajaran yang berkualitas tinggi dan memberikan cara – informasi kepada siswa untuk meraih kualitasnya.
  •       Memberikan pujian,  motivasi dan semangat kepada siswa yang berfokus pada proses yang dilakukan, atau strategi belajar yang digunakan, usaha yang dijalankan, atau pilihan yang siswa ambil. Sehingga pujian atau motivasi yang diberikan lebih konkrit diterima oleh siswa.
  •      Menyampaikan kritik membangun sebagai umpan balik proses belajar yang telah dilakukan oleh siswa, sehingga dapat membantu siswa memahami cara menyelesaikan problem yang dihadapi.    

Change can be tough but I've never heard anybody say it wasn't worth it. 

(Carol S. Dweck)





[1] Dweck, Carol S., Mindset, Yogyakarta:  Penerbit BACA, 2017

Sabtu, 09 Juni 2018

Kerja Belum Selesai …Broh!


"Nasib kitalah memang, nak. Nasib kita. Seganas-ganas laut, dia lebih pemurah dari hati priyayi."

Sahaya ini orang kecil, orang kebanyakan, orang lata, orang rendah, kalaupun jatuh—ya sakit memang, tapi tak seberapa. Bagi orang atasan ingat-ingatlah itu, Mas Nganten, tambah tinggi tempatnya tambah sakit jatuhnya. Tambah tinggi, tambah mematikan jatuhnya. Orang rendahan ini, setiap hari boleh jatuh seribu kali, tapi ia selalu berdiri lagi. Dia ditakdirkan untuk sekian kali berdiri setiap hari (h. 98)

Orang bawahan selalu lapar, karena itu matanya melihat segala-galanya, kupingnya dengar segala-galanya dan hatinya seakan segala-galanya, sedang jantungnya deburkan darah buat segala-galanya”. (h.105)

Tiga paragraph di atas adalah penggalan dari buku karya Pramoedya Ananta Toer, pecinta sastra pasti paham benar judul yang dimaksud, yup… benar , Gadis Pantai! Bercampur aduk emosi saat membacanya. Tapi kali ini saya tidak akan membahas gadis pantai, tapi kehidupan nelayan di pantai, meskipun sama campur aduk emosinya L.

Minggu pagi yang cerah sebelum check out dari Hotel, saya ingin sekali menikmati berjalan di pantai yang terletak di belakang hotel sambil melihat jika ada view yang cocok untuk photo. Ternyata, saya mendapatkan lebih dari yang saya harapkan. Saya melihat banyak orang duduk berbaris sambil menarik tali , mulai dari yang tua, muda, hingga anak-anak, perempuan dan laki-laki. Saya belum mengerti apa yang mereka lakukan, tapi setelah diamati ternyata mereka menarik tali jala ikan yang disebar di laut. Tali jala begitu panjang sehingga memerlukan banyak orang dan tenaga untuk melakukannya.
Berkelompok menarik tali jala.
Masing-masing memiliki peran dan kontribusi.

Menarik juga, karena baru kali ini saya menyaksikannya secara langsung. Memerlukan sekitar 1 jam untuk menarik jala hingga ke tepian pantai. Saya menganalogikan dalam proses ini dengan pekerjaan di kantor, OK … tim nelayan ini sangat memiliki working team yang baik, satu sama lain mengetahui peranannya dan kontribusi yang dimiliki sangat berarti, meskipun hanya menarik tali saja. Ada kerjasama, kekompakkan, dan kesabaran. Saya berdebar-debar menunggu hasil jaring yang ditebar, saya membayangkan dalam jaring ada ikan-ikan yang besar dan banyak sehingga dapat dijual dengan harga yang layak dan uangnya dapat berguna bagi kehidupan mereka.
Hasil tangkapan bercampur sampah.

Dalam doa saya yang menyaksikan di bawah panasnya matahari meskipun masih pagi dan tentu saja mereka juga berharap dan berdoa lebih daripada saya, saat jala semakin dekat pantai, mereka menjadi heboh dan tambah bersemangat, begitu juga saya. Ahhh…namun sayang, belum rezeki, bukan berarti doa tak terjawab, ikan-ikan yang terjaring kecil-kecil dan sedikit, malah kebanyakan sampah plastiknya.. huhu. Tampak kekecewaan pada wajah mereka, namun tak sekecewa saya, mungkin mereka sudah biasa ya, dan saya yang terlalu excited dengan harapan ikan-ikan yang besar dan segar.

Hasil tangkapannya ikan-ikan kecil.
Saya merasa gak adil saja. Kerja keras mereka hanya sebegitu saja hasilnya, sudahlah mengeluarkan tenaga, waktu, berpanas-panas, modal bensin untuk kapal yang membawa dan menyebar jala ke tengah laut, sungguh tak sebanding, apalagi setelah saya mendengar penjelasan penjual mutiara yang kadang juga membeli hasil tangkapan mereka, bahwa harga jual tangkapan mereka sangat murah. Mereka tidak mendapat uang yang seimbang dengan tenaga yang dikeluarkan, bagi mereka yang penting dapat makan, membeli beras, ya kebutuhan sehari-hari. Namun, saya juga berpikir lain, beginilah orang kecil Indonesia, jikapun hasil tangkapan tak layak jual, mereka tetap bisa membawa pulang dan dikosumsi sendiri, tidak akan ada orang Indonesia yang kelaparan sepanjang mereka mau berusaha dan bekerja. Tapi, dengan proses seperti ini repot dan beratnya, apa masih ada yang mau melakukannya? Apalagi hasilnya sedikit dan harus berbagi dengan anggota tim lainnya, tentu saja ini adalah nelayan tradisional dari masyarakat kecil, beda dengan nelayan modern yang memiliki modal besar, peralatan tangkap canggih dan mampu menjangkau jauh dari tepian pantai ke tengah lautan dengan hasil tangkapan ikan yang besar.
Keranjang tangkapan yang tidak penuh.

Pikiran saya kemana-mana selama menyaksikan proses ini, pemerintah ? Ya… seharusnya peranan pemerintah untuk membantu dan membina mereka, oh ya Menteri Susi sudah berupaya melakukan perubahan-perubahan dengan kebijakannya menangkap illegal fishing. Namun, menurut penjual mutiara tadi, hal tersebut tidak berdampak signifikan kepada hasil tangkapan nelayan tradisional. Hal lain juga berpengaruh , yaitu kondisi laut yang rusak dan tercemar. Ya semua masuk akal sih.



Baby shark yang terjaring.
Baiklah, kesaksian saya selama proses ini, tidak begitu menyenangkan, tapi banyak pelajaran yang saya ambil selama beberapa jam mengikuti kegiatan mereka. Kata kuncinya adalah kerja, kesabaran meskipun kecewa, tapi tak putus semangat untuk mencoba lagi, selalu berharap ada hasil yang baik. Lainnya…merawat alam , marilah menjaga kebersihan laut dengan tidak membuang sampah di laut dan mengurangi penggunaan plastik. 

Sabtu, 04 Maret 2017

Apa Pentingnya? Nikmati Saja ... (Suatu Renungan)



Hey you sexy people.. This will be my last post on instagram & twitter.
.
I have decided that at this age (forever 24, of course) I need to really start living and enjoy every moment of my life, not busy trying to make a point or seek approval from strangers.
.
I want to whisper my gratefulness (and disappointments!) to my creator only, because we all know God listens to our heart, not reading our captions.
.
I want to tell a person how I feel & what I’m thinking by talking heart to heart, not post quotes I found on google search.
.
I want to go back to the days when I eat because it’s basic necessity, not because food
porn posts are considered cool. I want to wear certain outfit because it makes me feel comfortable, not because I have to post ootd (or because I got them free ).
.
I realize I have spent a little too much time doing unnecessary postings instead of engaging with my surrounding and living the moment. I need to interact & pay attention to those closest to me, as I have no guarantee of how much time I have left to spend with them.
.
I want to cherish my intimate memories within myself. you know the saying “tomorrow is only a promise”. I want others to speak of my achievements, without me having to shout about it on my posts. I want individuals to know me because they have met me and spent time with me, not because they read a sentence of my caption underneath a photo I posted after selecting from hundreds of pretentious selfies . and vice versa, I don’t want to think I know someone just because I follow him/her on social media.
.
So here it is, my last post. I made this with boomerang, tried at least 20x, edited with music, spent about 45 minutes overall to have this post on my ig page when I should be getting rid of my makeup half hour ago and get myself ready to prepare dinner. oh life on social media is exhausting and taking too much of my precious mommy-mode afternoon.
.
Thank you for being such lovely followers it’s been wonderful.

Demikian yang dituliskan oleh Sarah Sechan, presenter terkenal yang menyatakan berhenti beraktivitas di media sosial dengan alasan-alasan yang sangat mendasar.

Dari tulisan Sarah Sechan dan beberapa tulisan lainnya, membuat saya merenungi tentang segala wara-wiri, hiruk pikuknya media sosial, waktu dan segala hal yang mengiringinya.

Dalam renungan saya ...

Apa pentingnya mengumumkan kepada khalayak atau publik di media sosial tentang apa yang sedang kita, kami or kamu lakukan?

Kenapa perlu diumumkan atau mengupdate status di media sosial bahwa kamu sedang mendengarkan musik dari chainsmoker, atau coldplay, atau apalah...just enjoy it, tanpa perlu disibukkan dengan melihat siapa yang mengomentari atau menjempoli, atau merasa dicueki karena tak satu pun dari temanmu yang menjempoli atau mengomentari .. :D

Terpikirkan saja bahwa apa yang kita lakukan sebaiknya dinikmati saja, dinikmati seutuhnya, yes.. seutuhnya bersama dirimu atau bersama orang-orang disekitarmu, tanpa fokus dan perhatian terpecahkan pada media sosialmu, setiap detikmu, setiap menitmu, setiap jammu, karena...mereka tak akan kembali untuk diulangi L

Kadang terpikirkan saja oleh saya saat membaca timeline di media sosial, dengan diawali pemikiran dan pernyataan...apa pentingnya saya mengetahui ini atau itu.... untuk postingan yang bersifat personal, seperti :
Apa pentingnya orang lain (media sosial) mengetahui aktivitas pribadimu, keluargamu atau perasaan hatimu kepada pasanganmu..apalagi jika pasutri yang tinggal serumah kemudian mengutarakan perasaannya di media sosial, kenapa tidak diucapkan saja secara langsung kepada yang dimaksud? Kenapa harus di media sosial? Tentu saja kalian sebagai suami istri saling mencintai, apa perlu ditegaskan lewat media sosial?

Atau ...

Postingan poto diri dan caption yang tidak nyambung, maksudnya apa? Saya sering tak mengerti hal yang begini. Poto diri close up kemudian captionnya bersyukur dengan rezeki yang diberikan oleh Allah, atau bersabar dengan segala ujian, atau belajar dari alam raya, dan lain-lain... saya gagal paham :D

Atau ...

Ini yang paling bikin saya geli ... postingan tentang istri yang beraktivitas sebagai Ibu Rumah Tangga. Antara menerima kenyataan dan tidak (bagi yang sepertinya terpaksa ber-IRT karena memiliki anak, tinggal jauh dari kota, dll), aneh sekali membacanya, kadang memposting yang menyatakan keunggulan sebagai IRT, saling share yang merasa senasib, kemudian postingan yang menghimbau suami agar menghargai IRT dengan memberikan waktu untuk me time, piknik karena jenuh berada di rumah, atau yang bagi Ibu pekerja yang merasa bersalah meninggalkan anak karena bekerja sehingga mengurangi kebersamaan bersama anak untuk merawat, mendidik tumbuh kembangnya... saya gagal paham (lagi) tentang ini ...kenapa harus diluahkan di media sosial, semua soal pilihan saja. Tapi saya coba memahami, mungkin mereka mencari dukungan, pembenaran terhadap yang dialami.

Jadi, yang berseliweran di media sosial adalah hal-hal yang tidak penting. Belum lagi tentang perdebatan politik, sungguh menghabiskan waktu dan pikiran. Baiklah... saya tidak ingin renungan saya semakin liar, pernyataan Sarah Sechan cukup menginspirasi saya, mungkin saya belum bisa bersikap seperti beliau, tapi saya berniat untuk mengurangi kegiatan saya, terutama yang bersifat pribadi, keluarga dan pencapaian yang lebih kepada pamer untuk mendapatkan pengakuan berupa jempol atau komentar. Saya akan memposting atau berbagi postingan yang bersifat informatif saja dan seperlunya, jika penting untuk diketahui oleh orang lain, atau hal-hal yang menghibur dan inspiratif.

Curahan hati, isi perasaan, keluhan, emosi, biarlah menjadi ranah pribadi, tidak perlu diketahui banyak orang. Benar apa yang dituliskan Sarah Sechan “ ... I want others to speak of my achievements, without me having to shout about it on my posts, akan lebih menyenangkan jika orang lain mengetahuinya bukan melalui “pamernya” kita di media sosial, I felt it!
 
Berbeda rasanya J  Rasa ini pun terjadi untuk hal-hal lainnya, so just keep it private from social media, berasa seperti kejutan jika ternyata teman-temanmu mengetahui bahwa anakmu sudah besar, mendapat prestasi, ganteng dan cantik, dengan bertemu secara langsung atau dari orang lain yang mengenalmu juga, tanpa harus kamu upload kegiatan dan tumbuh kembangnya secara day by day, dan lain sebagainya.


Memang, kita bebas bermedia sosial, tapi mungkin bisa bijaksana dan berpikir kritis untuk menggunakannya, agar kehidupan kita tidak seperti ditelanjangi atau seperti ikan di aquarium.

Begitu.
 ===========================******===================================

Minggu, 16 Oktober 2016

Me Before You – Sebelum Mengenalmu

“Bisa dikatakan hanya kau yang membuatkku masih mau bangun di pagi hari”. 
Will Traynor

Sebuah novel karya Jojo Moyes yang ditulis dengan manis, membacanya seperti menonton adegan film yang berpindah dari satu adegan ke adegan lainnya, sungguh menarik!
 
www.google.com
Emosi larut dari halaman satu ke halaman lainnya, dari satu paragraph satu ke paragraph lainnya. Merasai bagaimana bila menjadi Will Traynor yang seorang pemuda kaya dengan hidup penuh kesenangan, kemudian harus menyerahkan kehidupannya menyenangkan pada kursi roda, dengan setengah anggota badan yang kehilangan fungsinya karena kecelakaan yang dialami.

Sedangkan Louisa Clark, seorang gadis muda yang menghabiskan sepanjang hidupnya di kota kecil di bagian Inggris, kota kelahirannya bersama keluarganya dengan kemampuan ekonomi yang pas-pasan. Louisa harus bekerja di Caffee untuk membantu ekonomi keluarganya, sebelum menjadi perawat pribadi Will karena Caffee tempatnya bekerja ditutup.

Novel ini mengisahkan tentang Will dan Louisa, dari hubungan profesional, menjadi jalinan percintaan yang menggerus emosi.

Will dengan sikap sinisnya yang ditunjukkan pada awal perkenalan dengan Louisa, membuat Louisa tak menyerah untuk mencairkan sikap Will itu. Louisa dengan sikapnya yang riang dan penyuka penampilan yang eksentrik, serasi dengan latar belakang Will yang terlahir dan dibesarkan dari keluarga kaya yang elegan dengan pergaulan kelas atas dan berpendidikan yang terbaik. Mereka berdua saling mengisi dan melengkapi satu sama lain.

“Kisah tentang dua manusia. Dua manusia yang tidak seharusnya bertemu, yang tidak terlalu saling menyukai pada mulanya, namun kemudian mendapati ternyata hanya mereka berdua di dunia ini yang bisa amat sangat saling memahami “. - Louisa Clark

Hingga Louisa mengetahui suatu misi rahasia keluarga Will yang berasal dari kehendak Will sendiri untuk mengakhiri hidupnya. Setelah mengetahui rahasia tersebut, Louisa dengan segenap daya upaya berusaha untuk mengubah keputusan Will sebelum batas waktu yang telah mereka tetapkan.

Protes dan usaha Louisa, tidak mengubah apa pun yang sudah diputuskan oleh Will.

“Aku tidak ingin kau terikat padaku, pada jadwal –jadwal ke rumah sakit, keterbatasan-keterbatasan hidupku. Aku tidak ingin kau melewatkan semua yang bisa diberikan seseorang lain padamu”. – Will Traynor


Bagi Will, kehadiran Louisa memberikan kebahagian bagi dirinya, walaupun tidak secara langsung diungkapkan, Will menyenangi Louisa,namun Will menyadari dengan keadaannya, cintanya kepada Louisa adalah dengan membebaskannya, karena bila bersama dengan dirinya .. Lousia tak memiliki masa depan. Sambil menghitung hari-harinya, Will membina Louisa dengan hal-hal yang tidak diketahui oleh Louisa sebelumnya.    

“Kau sudah terpatri dihatiku, Clark. Sejak hari pertama kau melangkah masuk, dengan pakaianmu yang ajaib, lelucon-leluconmu yang payah, dan ketidakmampuanmu untuk menyembunyikan setitik pun perasaan-perasaanmu. Kau mengubah hidupku, jauh, jauh melebihi yang bisa dilakukan uang ini terhadap hidupmu”.- Will Traynor

Will memberikan semua harta yang dimilikinya untuk masa depan Louisa, ia ingin Louisa merasakan kehidupan yang berbeda, melihat cakrawala lain, pergi meninggalkan kota kecil mereka yang tidak memberikan kesempatan untuk masa depannya.  

“Aku hanya ingin kau menjalani hidup dgn berani. Tantang dirimu. Jangan cepat merasa puas”. – Will Traynor


“Jalani saja hidupmu dengan baik”. – Will Traynor 

=====================*****========================