“Perfection is the enemy of progress” – Winston Churchill
Saya sering menunda dan memikirkan
berkali-kali untuk menulis dan mem-posting/mem-publish tulisan
yang telah saya buat. Kenapa? Karena saya merasa tulisan ini tak terlalu bagus,
kurang “nendang” isi dan bahasanya. Kata-kata yang saya gunakan terlalu
sederhana, kurang ilmiah, kurang akademis, kurang intelek, kurang ini – itulah …
ujung-ujungnya saya minder, yasud … tulisannya parkir di folder
sampai batas waktu yang tak ditentukan hingga terlupakan nasibnya.
Tapi, sering pula saya browsing
atau membaca tulisan karya orang lain, saya membandingkan dan menganggap
tulisan saya gak kalah bagus kok dengan mereka. Saya-nya saja
yang ingin tampak sempurna dan berkualitas dengan standar yang saya buat
sendiri, sehingga saya gak kemana-mana, muter-muter dalam pagar-batasan
yang saya buat sendiri dengan setinggi-tingginya.
Saya membaca suatu tulisan dari David
Perell[1]
yang mengulas tentang melatih kemampuan menulis. Tulisan pas untuk kondisi yang
saya hadapi. Dalam salah satu sub tulisannya yaitu kuantitas versus kualitas (permasalahan
yang saya alami), David memberikan contoh sederhana namun menarik, yaitu seorang
guru yang memberikan tugas kepada siswanya untuk membuat keramik.
Guru membagi siswa dalam dua kelompok,
yaitu kelompok kuantitas dan kelompok kualitas. Prosedur yang diberikan oleh
guru sederhana saja, yaitu : pada hari pengumpulan tugas, karya dari kelompok
kuantitas akan ditimbang, dengan kategori lima puluh pon pot diberi nilai
"A", empat puluh pon sebuah "B", dan seterusnya. Namun,
untuk kelompok kualitas, hanya perlu menghasilkan satu pot untuk
mendapatkan “A”.
Hari penilaian tiba dan fakta aneh
muncul, ternyata karya dengan kualitas yang terbaik ternyata dihasilkan oleh kelompok
kuantitas! Mengapa hal ini bisa terjadi? Tampaknya ketika kelompok kuantitas
sibuk mengaduk-aduk tumpukan pekerjaannya, mereka banyak belajar dari
kesalahannya. Sementara yang terjadi di kelompok kualitas, mereka sibuk
berdiskusi dan berteori tentang kesempurnaan, dan pada akhirnya mereka
tidak mengerjakan apapun, selain teori dan tumpukan tanah liat.
Jadi … kesimpulan yang saya ambil dari
contoh tersebut :
“Semakin banyak
engkau menulis (kuantitas), maka semakin mengerti dimana letak kekurangan dari
setiap tulisan, kondisi ini yang akan menjadikan tulisanmu semakin berkualitas
(quality)”.
Konsistensi dalam menulis diperlukan
untuk mengembangkan kemampuan sehingga menghasilkan tulisan yang berkualitas.
Sore tadi saya tergoda untuk membuka
link video music yang berjudul Dynamite, dinyanyikan oleh BTS, sebuah group
band dari Korea Selatan(K-Pop). Lagunya sampai sekarang masih melekat untuk
didendangkan, iramanya riang, liriknya berbahasa Inggris, dance-nya gak
ribet. Intinya, lagunya asik!
Saya yakin sih, tim mereka
bekerja keras dalam segala lini, sehingga faktanya video music yang tayang
selama 5 jam 30 menit sudah ditonton 40 juta viewers[2]: trial and error,
mulai dari lirik, nada, kostum, koreografi, kerjasama dengan tim label rekaman
lain, latihan vocal, dan lain-lain. Analogi untuk menghasilkan sebuah karya
adalah konsistensi yang suatu saat akan menjadi ledakan dinamit!
“…I'm diamond you know I glow up
Hey, so let's go
Cause ah, ah, I'm in the stars tonight
So watch me bring the fire and set the night alight
Shining through the city with a little funk and soul
So I’m light it up like dynamite, woah …”
[1]
David Perell,"The Ultimate Guide to Writing Online", https://www.perell.com/blog/the-ultimate-guide-to-writing-online, (diakses pada 8 Sept 2020, pukul 19.30 WIB)
[2] Karwati Putu Latief, "Fakta Dynamite BTS-Single Pertama Full Berbahasa Inggris, https://www.harapanrakyat.com/2020/08/fakta-dynamite-bts/, (diakses pada 9 Sept 2020, pukul 18.00 WIB)